Singkong dan Bisnis Minyak Rakyat
Harga minyak dunia yang melambung, sudah lama diprediksi. Logikanya, minyak bumi (fossil fuel)
adalah bahan bakar yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, minyak
dunia akan habis. Saat ini, harga minyak memang sedang booming karena kebutuhan negara-negara industri baru seperti India dan Cina sangat tinggi.
Ke depan, jika negara-negara di dunia tak segera mengantisipasi kelangkaan fossil fuel,
harga minyak akan naik tinggi sekali. Tapi sebaliknya, jika
negara-negara di dunia menyiapkan antisipasinya sejak sekarang, niscaya
harga minyak tak akan naik lagi, bahkan bisa turun. Mengapa? Karena
dunia nantinya bisa mencari pengganti minyak fosil yang aman, murah, dan
mudah diproduksi oleh siapa pun. Saat ini, industri minyak hanya
dipegang oleh para pemodal besar.
Biofuel dari Sukabumi
Majalah Trubus edisi November 2007 memaparkan ‘kebun-kebun penghasil bensin di Pulau Jawa’. Di wilayah Sukabumi, misalnya, ternyata sudah muncul industri rumahan biofuel yang sederhana. Pak Soekani dari kampung Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, salah seorang warga yang memproduksi ‘bensin’ itu. Tiap bulan dia berhasil mengolah singkong menjadi etanol (alkohol) 95 persen sebanyak 2.100 liter.
Majalah Trubus edisi November 2007 memaparkan ‘kebun-kebun penghasil bensin di Pulau Jawa’. Di wilayah Sukabumi, misalnya, ternyata sudah muncul industri rumahan biofuel yang sederhana. Pak Soekani dari kampung Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, salah seorang warga yang memproduksi ‘bensin’ itu. Tiap bulan dia berhasil mengolah singkong menjadi etanol (alkohol) 95 persen sebanyak 2.100 liter.
Dari jumlah itu, 300 liter dijual ke
pengecer premium, dan 800 liter lainnya dijual ke industri kimia. Harga
per liter etanol itu, Rp 10 ribu. Tiap liter etanol dibuat dari 6,5 kg
singkong. Harga produksi etanol per liter Rp 3.400-Rp 4.000. Dari bisnis
‘energi’ yang berasal dari singkong itu, Pak Soekani mendapatkan omzet
21 juta per bulan. Langkah Pak Soekani itu, kini mulai banyak diikuti
penduduk desa lainnya.
Mungkin anda bertanya, mengapa pengecer premium mau membeli etanol made in
Pak Soekani seharga Rp 10 ribu per liter? Ternyata, pasar itu tercipta
dari pengalaman tukang ojek di Cicurug. Premium yang dicampur 5-10
persen alkohol, angka oktannya naik. Kendaraan makin bertenaga dan bahan
bakarnya makin hemat 20-30 persen. Belakangan, di Sukabumi juga sudah
ada orang yang membuat kompor berbahan bakar alkohol. Kompor jenis ini,
konon, lebih irit.
Kisah Pak Soekani menggambarkan bahwa bisnis biofuel tidak seperi fossil fuel
(dalam hal ini BBM), bisa dilakukan siapa saja, bahkan dengan skala
rumahan dan kaki lima. Karena itu, ke depan, jika pemerintah dan
masyarakat ramai-ramai mengembangkan biofuel, niscaya kesejahteraan di
Indonesia akan makin merata. Tak hanya itu, lahan-lahan kosong pun akan
menghijau.
Memang ada kekhawatiran bahwa kebun-kebun
biofuel itu akan merusak lingkungan dan keanekaragaman jenis di
Indonesia. Namun jika sejak awal pemerintah membuat peta pengembangan
industri biofuel secara nasional, niscaya kekhawatiran tersebut bisa
direduksi. Ini karena pada peta tersebut akan ditunjukkan daerah-daerah
yang pas untuk mengembangkan biofuel jenis tertentu.
Peluang bisnis biofuel di dunia sangat besar. Berdasarkan laporan Clean Edge seperti dikutip buku The Clean Tech Revolution
(2007) karya Ron Pernick dan Clint Wilder, pasar biofuel di dunia tahun
2006 mencapai 20,5 miliar dolar AS (untuk etanol dan biodisel). Nilai
pasar itu akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2016. Di AS, etanol
dicampur dengan gasoline (premium) dengan kadar campuran 2-85 persen.
Di Brazil, sudah diproduksi mesin-mesin yang bisa memakai etanol
seluruhnya (100 persen). Namun demikian, kondisi pasar etanol di Brazil
sangat fleksibel. Jika harga BBM tinggi sekali, maka campuran etanol
pada premium diperbesar, dan sebaliknya.
Tahun 2006, produksi etanol di dunia
mencapai 12 miliar galon. Di AS, campuran premium dan 10 persen etanol
(E-10) dipakai mobil-mobil tanpa modifikasi mesin. Sedangkan untuk
campuran 85 persen etanol (E-85), mesinnya dimodifikasi dengan flex-fuel vehicle
(FFVs). Jika produksi etanol di dunia makin besar dan kendaraan di
dunia sudah pro-biofuel, niscaya semua kendaraan di muka bumi akan
memakainya. Jika sudah demikian, ‘emas hitam’ yang berasal dari
kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan bergeser ke ‘emas hijau’ yang
berasal dari kebun-kebun minyak di daerah tropis seperti Asia dan
Amerika Latin.
Pemerataan ekonomi
Setiap ada ancaman, pasti ada peluang. Harga minyak yang mahal jangan hanya dilihat sebagai ancaman, melainkan juga peluang. Peluang ini bisa menyadarkan seluruh komponen masyarakat Indonesia bahwa ketergantungan pada BBM adalah sangat berbahaya dan kita punya kesempatan besar untuk mengkonversi BBM ke biofuel. Tanah Indonesia yang subur merupakan aset untuk membangun kemandirian sumber energi terbarukan. AS dan Eropa juga Jepang dan Cina saat ini tengah bahu membahu mengganti ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Setiap ada ancaman, pasti ada peluang. Harga minyak yang mahal jangan hanya dilihat sebagai ancaman, melainkan juga peluang. Peluang ini bisa menyadarkan seluruh komponen masyarakat Indonesia bahwa ketergantungan pada BBM adalah sangat berbahaya dan kita punya kesempatan besar untuk mengkonversi BBM ke biofuel. Tanah Indonesia yang subur merupakan aset untuk membangun kemandirian sumber energi terbarukan. AS dan Eropa juga Jepang dan Cina saat ini tengah bahu membahu mengganti ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Pemerintah Indonesia juga sudah
seharusnya berpikir jauh ke sana dan langsung mengimplementasikannya ke
dalam sistem kerja yang terencana dan terpadu untuk menyongsong
kemandirian energi ramah lingkungan ini. AS, misalnya, sudah mulai
melaksanakan program untuk menyongsong program tahun 2017, di mana 20
persen bahan bakarnya berasal dari tanaman. Ini artinya, setiap hari di
tahun 2017, AS akan membutuhkan lebih dari 8 juta barel biofue. Program
ini jelas sangat raksasa dan AS sudah bertekad melaksanakannya.
Nah, bagaimana Indonesia? Pak Soekani di
kampung Nyangkowek, Cicurug sudah memulainya. Hanya dengan singkong, Pak
Soekani bisa memproduksi ‘bensin’ masa depan. Padahal singkong adalah
tanaman yang amat akrab dengan masyarakat Indonesia. Singkong bisa
ditanam di mana saja. Di kampung-kampung, singkong bisa ditanam di
samping, depan, dan belakang rumah. Daunnya bisa dijadikan sayuran yang
amat bergizi, sedang umbinya adalah bahan untuk membuat etanol yang
baik.
Bila ditanam secara serius, dalam satu
hektare dapat dihasilkan 100 ton, bahkan 150 ton singkong. Luar biasa
bukan? Di masa depan, anak singkong bukan lagi menjadi hinaan,
sebaliknya akan jadi pujaan. Ini karena singkong, bukan sekadar makanan
sehat yang antidiabet, tapi juga penyelamat krisis energi nasional di
masa depan.
*Kebun Penghasil Bensin*
Oleh admin Rabu, 31 Oktober 2007 21:15:23 /
Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota
Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira
di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong
menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter
dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia.
Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga
pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / /Bangunan di
tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun
singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu
Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap
bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800
liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu
sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet
Rp21-juta per bulan. / Biaya untuk memproduksi seliter bioetanol
berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter bioetanol
terbuat dari 6,5 kg singkong. Dari perniagaan bioetanol pria kelahiran 6
September 1950 itu meraup laba bersih Rp12-juta per bulan. Selain
singkong, sekarang ia juga memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu
sebagai bahan baku. Bioetanol produksi Soekaeni itulah yang dimanfaatkan
sebagai campuran premium oleh para tukang ojek di Nyangkowek, Kecamatan
Cicurug, Kabupaten Sukabumi, untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Satu
liter premium diberi campuran 0,1 liter bioetanol. Meski harganya lebih
mahal ketimbang premium, mereka tetap membelinya karena kinerja mesin
lebih bagus dan konsumsi bahan bakar lebih hemat. Setahun terakhir
popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan
biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat.
Keduanya-bioetanol dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan
dengan tren itu, bermunculan produsen bioetanol skala rumahan. Menurut
Eka Bukit, produsen bioetanol, kriteria skala rumahan bila produksi
maksimal 10.000 liter per hari. Saat ini volume produksi skala rumahan
beragam, dari 30 liter hingga 2.000 liter per hari. Selain Soekaeni di
Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin Sumoatmojo. Warga Bekonang,
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase alias limbah
pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1
liter bioetanol pria kelahiran 31 Desember 1947 itu memerlukan 3 liter
molase. Ia mengutip laba Rp2.500 per liter sehingga keuntungan bersih
mencapai Rp1.250.000 per hari. Selama sebulan, mesin bekerja rata-rata
30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai 15.000
liter yang memberikan untung bersih Rp37,5-juta per bulan. Di Bekonang
dan sekitarnya, produsen bioetanol skala rumahan menjamur. Menurut
Sabaryono, ketua Paguyuban Perajin Bioetanol Sukoharjo, total produsen
mencapai 145 orang. /*Bahan berlimpah*/ Daftar produsen bioetanol skala
rumahan kian panjang jika ditulis satu per satu. Mereka bertebaran di
Sukoharjo, Pati, (Jawa Tengah), Natar (Lampung), Sukabumi (Jawa Barat),
Minahasa (Sulawesi Utara), dan Cilegon (Banten). Para produsen kecil itu
mengendus peluang bisnis bioetanol. Harap mafhum, bahan baku melimpah,
proses produksi relatif mudah, dan pasar terbentang menjadi daya tarik
bagi mereka. Menurut Dr Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar
Teknologi Pati, ada 3 kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya
adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa. Beberapa
tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan
potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter),
singkong (2.000 liter), biji sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan
ubijalar (7.800 liter). Pada prinsipnya pembuatan bioetanol melalui
fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang
relatif mudah sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses
produksi biodiesel yang harus melampaui teknologi esterifikasi dan
transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi
masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun
silam-masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes
tebu. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan proses produksi.
Lalu pasar? Eka Bukit yang mengolah nira aren kewalahan melayani
permintaan bertubi-tubi. Setidaknya 275.000 liter permintaan rutin per
bulan tak mampu ia pasok. Permintaan itu datang dari industri farmasi
dan kimia. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar alumnus Carlton University
itu. Oleh karena itu Eka tengah membangun pabrik pengolahan bioetanol di
Kabupaten Lebak, Banten. Menurut Indra Winarno, direktur PT Molindo
Raya Industrial produsen di Malang, Jawa Timur, permintaan etanol, ‘Tak
terbatas.’ /*Pasok langsung*/ Sebagai substitusi bahan bakar premium,
permintaan bioetanol sangat tinggi. Mari berhitung, ‘Kebutuhan bensin
nasional mencapai 17,5- miliar per tahun,’ ujar Ir Yuttie Nurianti,
manajer Pengembangan Produk Baru Pertamina. Yuttie menuturkan 30% dari
total kebutuhan itu impor. Seperti diamanatkan dalam Peraturan
Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan
mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian
menipisnya cadangan minyak bumi. Persentase itu bakal meningkat menjadi
10% pada 2011-2015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010
selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter
bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma 137.000 liter
bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap
bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk
bahan bakar. Pangsa pasar yang sangat besar belum terpenuhi lantaran
saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok Pertamina. Dari
produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo
menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter. Mungkinkah
produsen skala rumahan memasok Pertamina? Kepada wartawan /Trubus/ Imam
Wiguna, Yuttie mengatakan, ‘Pertamina menerima berapa pun pasokan
bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat.’ Syarat yang
dimaksud sang manajer adalah berkadar etanol minimal 99,5%. Rata-rata
bioetanol hasil sulingan produsen skala rumahan berkadar 90-95%. Agar
syarat itu tercapai, produsen dapat mencelupkan penyerap seperti batu
gamping dan zeolit sehingga kadar etanol melonjak signifikan (baca:
/Bioetanol 99,5% Murnikan Saja dengan Gamping/ halaman 24-25). Selain
itu, pemasok harus mengantongi izin usaha niaga bahan bakar nabati dari
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketua Tim Nasional Bahan Bakar
Nabati Ir Alhilal Hamdi berupaya agar hubungan Pertamina-produsen skala
kecil terjalin dengan mudah. ‘Kami akan memfasilitasi agar tercipta
mekanisme paling mudah bagi industri kecil yang memasok Pertamina tanpa
perantara. Perantara itu kan biaya. Atau bisa juga langsung dikirim ke
SPBU karena jaringan Pertamina luas,’ ujar mantan menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi itu (baca: Produsen Boleh Oplos Bioetanol halaman 18).
Tentang harga beli, Yuttie mengatakan, ‘Harga beli yang ditawarkan
produsen harus kompetitif.’ Saat ini Pertamina membeli 1 liter bioetanol
Rp5.000. Toh, produsen skala rumahan pun diberi kesempatan mengoplos
alias mencampur bioetanol dan premium sendiri untuk dipasarkan. Produsen
yang mengoplos tak perlu takut dicokok aparat karena memang dilindungi
undang-undang. Yang menggembirakan bioetanol untuk bahan bakar bebas
cukai. Itu bukti bahwa pemerintah memang serius mengembangkan bioetanol
sebagai sumber energi terbarukan. /*Langit biru*/ Penggunaan bioetanol
sebagai bahan bakar juga berdampak positif. Banyak riset sahih yang
membuktikannya. Dr Prawoto kepala Balai Termodinamika, Motor, dan
Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, misalnya,
membuktikan kinerja mesin kian bagus setelah diberi campuran bioetanol.
Riset serupa ditempuh oleh Prof Dr Ir H Djoko Sungkono dari Jurusan
Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Hasil
penelitian Prawoto menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan
bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol
20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit
ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam,
konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin
efisien karena etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni.
Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian
singkat. Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol
lebih tinggi daripada bensin. Nilai oktan bensin cuma 87-88; bioetanol
117. Bila kedua bahan itu bercampur, meningkatkan nilai oktan. Contoh
penambahan 3% bioetanol mendongkrak nilai oktan 0,87. ‘Kadar 5% etanol
meningkatkan 92 oktan menjadi 94 oktan,’ ujar Sungkono, alumnus
University of New South Wales Sydney. Makin tinggi bilangan oktan, bahan
bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan
kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil.
Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbonmonoksida
menjadi hanya 1,35%. Bandingkan bila kendaraan memanfaatkan premium,
emisi senyawa karsinogenik alias penyebab kanker itu 4,51%. Nah, ketika
kadar bioetanol ditingkatkan, emisi itu makin turun. Program langit biru
yang dicanangkan pemerintah pun lebih mudah diwujudkan. Dampaknya,
masyarakat kian sehat. Saat ini campuran bioetanol dalam premium untuk
mobil konvensional maksimal 10% atau E10. Bahkan di Brasil, mobil
konvensional menggunakan E20 alias campuran bioetanol 20% tanpa
memodifikasi mesin. Penggunaan E100 atau E80 pada mobil konvensional
tanpa modifikasi mesin tidak disarankan karena khawatir merusak mesin.
Namun, kini muncul flexi car alias kendaraan fleksibel yang dapat
menggunakan bioetanol hingga 100% atau premium 100% pada waktu yang
lain. Di Amerika Serikat saat ini terdapat 5-juta flexi car dengan
penambahan 1- juta kendaraan per tahun. /*Berebut bahan */ Meski banyak
keistimewaan, bisnis bioetanol bukannya tanpa hambatan. Salah satu aral
penghadang bisnis itu adalah terbatasnya pasokan bahan baku. Saat ini
sebagian besar produsen mengandalkan molase sebagai bahan baku. Padahal,
limbah pengolahan gula itu juga dibutuhkan industri lain seperti pabrik
kecap dan penyedap rasa. Bahkan, sebagian lagi di antaranya diekspor.
Indra Winarno mengatakan molase menjadi emas hitam belakangan ini.
Dampaknya, hukum ekonomi pun bicara. Begitu banyak permintaan, harga
beli bahan baku pun membubung sehingga margin produsen bioetanol
menyusut. Beberapa produsen melirik singkong sebagai alternatif. Banyak
yang membenamkan investasi di Lampung karena provinsi itu penghasil
singkong terbesar di tanahair. Kehadiran mereka ternyata mendongkrak
harga ubikayu di sana. ‘Dulu harganya di bawah Rp300 per kg. Sekarang
lebih dari Rp400,’ ujar Donny Winarno, vice president PT Molindo Raya
Industrial. Kenaikan harga itu berkah bagi para pekebun. Di sisi lain
menyulitkan para produsen. ‘Saya berharap pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang juga melindungi produsen,’ ujar alumnus University of
California itu. Jika hambatan teratasi, produsen silakan meraup rupiah
dari tetesan bioetanol. Soalnya, pasar bioetanol-sebagai bahan
bakar-memang sangat besar karena populasi kendaraan bermotor meningkat.
Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, penjualan mobil
meningkat rata-rata 53.400 unit per tahun. Pemilik mobil tak perlu
memodifikasi mesin untuk menggunakan campuran bioetanol. Pasar itu kian
luas dan membaik ketika subsidi bahan bakar yang nilainya Rp1.681,25 per
liter itu dicabut. Dengan kebutuhan 17-miliar liter, pemerintah
menggelontorkan dana Rp28,6-triliun per tahun. Terlepas dari urusan
bahan bakar, peluang pasar bioetanol tetap besar. Itu lantaran banyak
industri yang memerlukannya. Sekadar menyebut contoh, industri bumbu
masak, bedak, cat, farmasi, minuman berkarbonasi, obat batuk, pasta gigi
dan kumur, parfum, serta rokok memerlukannya. Bahkan industri tinta pun
perlu bioetanol. Produk itu berfaedah sebagai pelarut, bahan pembuatan
cuka, dan asetaldehida. Menurut Ir Agus Purnomo, ketua Asosiasi Spiritus
dan Etanol Indonesia (Asendo), kebutuhan etanol untuk industri
rata-rata 140-juta liter per tahun. /*Investasi marak*/ Dengan segala
kelebihan di atas, penggunaan bioetanol agaknya kian mendesak. Bukan
hanya karena industri itu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi dan
menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, juga lantaran harga minyak bumi
yang diperkirakan melambung hingga US$100 per barel (1 barel = 117,35
liter) pada tahun mendatang. Itulah sebabnya, Johan Bukit produsen
bioetanol memperkirakan, ‘Siapa pun presiden terpilih, pada 2009 sulit
mempertahankan subsidi bahan bakar.’ Kondisi itu mendorong banyak
investor membenamkan modal untuk membangun kilang hijau alias energi
terbarukan. Johan Arnold Manonutu, misalnya, menjalin kemitraan dengan
masyarakat Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Anak tunggal mantan Menteri
Penerangan zaman Bung Karno itu menggelontorkan dana jutaan rupiah
untuk membeli 5 unit mesin produksi bioetanol berkapasitas masing-masing
200 l/hari. Mesin-mesin itu ‘dipinjamkan’ kepada warga Desa Menara,
Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan. Satu unit mesin
dikelola 3 orang. Johan menampung hasil produksi mereka yang mencapai
1.000 liter sehari, dengan harga Rp6.000 per liter. ‘Harga itu jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan harga cap tikus yang hanya Rp300 per
liter,’ ujarnya. Cap tikus yang ia maksud adalah sulingan nira aren
berkadar etanol 35% yang lazim digunakan untuk bahan minuman keras.
Johan memasarkan etanol itu ke beberapa rumahsakit untuk sterilisasi.
Dengan harga jual Rp16.000-Rp17.000 per liter, omzetnya
Rp16-juta-Rp17-juta per hari. Edy Darmawan dari PT Indo Acidatama
berencana membangun pabrik pengolahan berkapasitas 50-juta liter per
tahun di Lampung. Begitu juga Sugar Group Company (SGC), pemilik 3
pabrik gula raksasa yang mendirikan pabrik berkapasitas sama di Lampung
Tengah. Mereka mengendus peluang besar dengan membangun kilang hijau
yang ramah lingkungan. Pangsa pasar terbentang luas, harga memadai,
bahkan dapat digunakan untuk keperluan sendiri. Itulah bioetanol,
‘bensin’ dari tetumbuhan. Ingin membangun kilang di halaman rumah agar
mencecap manisnya berbisnis bioetanol? (*Sardi Duryatmo/Peliput:
Andretha Helmina, Imam Wiguna, Lani Marliani, & Nesia Artdiyasa*)
Sumber: Trubus Majalah Pertanian Indonesia :
http://www.trubus-online.com Online version:
http://www.trubusonline.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=80
0 comments:
Post a Comment