Monday 19 December 2011

indahnya cinta terlarang

“Sudah twilight (rembang petang)…. Ini saat yang paling aman bagi kami… Saat termudah, tapi juga yang paling sedih, mengingat… ini adalah akhir dari satu hari lain, kembalinya sang malam…”
Dialog di atas adalah salah satu dialog yang sangat aku suka. Dialog yang kembali mengingatkanku akan alasan mengapa aku begitu mencintai sekaligus membenci senja.
Beberapa bulan lalu, seorang teman terus menerus memaksa aku untuk membaca novel setebal 518 halaman ini. “Ayo dong Jo, baca Twilight deh. Ga kalah kok sama Harry Potter,” katanya suatu hari.
Penasaran mendengarnya terus menerus merengek akhirnya kuputuskan untuk membacanya, namun aku tetap bertanya kepadanya, “Kenapa sih kamu maksa banget aku harus baca novel ini?”
Sambil tersenyum penuh kemenangan sang teman kemudian menjawab, “Kamu akan menemukan betapa kamu sangat mirip dengan Edward dalam banyak hal.”
Membutuhkan tiap malam selama satu minggu penuh untuk menyelesaikan novel karangan Stephenie Meyer ini. Dan memang, aku jatuh cinta pada tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya sama besar dengan kecintaanku pada alur ceritanya yang tidak membosankan.
Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang gadis remaja bernama Bella dengan Edward, seorang vampir yang hidup abadi dalam usia 17 tahun. Berawal dari keputusan Bella untuk meninggalkan ibunya dan tinggal dengan ayahnya, di kota ini Bella berusaha beradaptasi dengan teman-teman baru yang ditemuinya di sekolah.
Hidup tanpa gairah yang sebelumnya dijalani oleh Bella seketika berubah ketika ia mengenal Edward, seorang pemuda tampan dan pandai, anak keluarga dokter Cullen yang kaya raya.
Edward yang sadar dirinya adalah vampir yang pada dasarnya selalu haus akan darah manusia berada di titik dilema antara rasa cintanya terhadap Bella dan nalurinya sebagai vampir.
Kisah cinta antara Edward dan Bella mengingatkanku pada hubungan jenis pasif-agresif, dimana kedua remaja tersebut sama-sama berusaha keras menahan keinginan diri mereka untuk membiarkan cinta mengalir diantara keduanya dan keinginan untuk mematikannya karena sadar bahwa saat mereka memutuskan untuk bersama maka tidak akan ada jalan bagi mereka untuk kembali seperti sediakala.
Hubungan Edward dan Bella yang dihiasi oleh pro dan kontra dari keluarga Cullen, menjadi semakin menegangkan saat semua keluarga Edward bersatu padu melindungi Bella dari incaran seorang vampir pemburu lain. Di sini aku bisa merasakan indahnya keluarga. Di sini aku sempat merasa terharu betapa keluarga vampir (yang katanya hanya bisa masuk neraka) bisa bahu membahu membantu Edward untuk menyelamatkan Bella yang “hanya” seorang manusia.
Seperti sifat manusia yang mempunyai dua sisi, dalam novel ini, aku juga menemukan bahwa vampir juga mempunyai dua sisi dalam sifatnya. Ada sisi baik, dan ada sisi buruk. Namun mengenal sosok Edward dan keluarganya, aku semakin menutup sisi buruk yang ada, karena sungguh, keluarga vampir ini memang cool.
Novel ini membuatku penasaran membayangkan tampang para tokoh. Tokoh Edward digambarkan memesona, berkulit porselen, sepasang mata tajam yang warnanya bisa berubah sesuai dengan mood-nya, suara yang merdu memikat, rambut yang keemasan dan acak-acakan. Sementara tokoh Bella digambarkan sebagai gadis sederhana yang manis namun biasa-biasa saja dan menjadi populer berkat status anak barunya di sekolahnya di kota Forks, Washington. Belum tokoh lainnya yang membuatku tak henti-hentinya berimajinasi.
Selesai membaca novel ini, aku kembali disadarkan bahwa memang tokoh Edward agak mirip dengan diriku. Bukan, bukan secara fisik. Aku mungkin memiliki sepasang mata yang tajam namun sungguh aku tidak cukup memesona hingga bisa membuat gadis manapun tersihir. Namun aku pernah merasakan dilema yang dialami oleh Edward.
Aku pernah begitu keras menahan keinginan untuk terus membiarkan cintaku terhadap seorang wanita tumbuh atau mematikan rasa cinta ini, karena aku sadar bila aku membiarkannya tumbuh, perlahan aku juga akan tak kuasa untuk “menghisap darahnya”. Tokoh Edward dan Bella mengingatkanku akan hubunganku dengan seorang mantan. Cinta kami adalah cinta terlarang. Cinta yang tidak seharusnya tumbuh karena kami sadar akan dapat membunuh salah satu dari kami.
Kembali kepada Twilight, novel ini begitu penuh dengan rasa. Dengan predikat novel remaja, aku bahkan bisa menemukan bahwa aku begitu bergairah membaca bagian-bagian saat Edward dan Bella mencurahkan cintanya bahkan walaupun hanya lewat kata-kata.
Entah bagaimana Meyer dapat menyelesaikan novel ini dan memuaskan keinginanku akan akhir cerita yang kuharapkan. Lepas dari banyaknya waktu yang harus kukorbankan untuk membacanya, aku sangat puas dan penasaran menunggu lanjutan dari novel ini.

0 comments:

Post a Comment