mengunjungi budaya B A D U Y
lama kita tidak melakukan perjalanan bersama,..untuk melihat karakter diantara kita,..dengan perjalanan semua itu akan terlihat jelas..dan disinilah awalnya bentuk kerjasama saling pengertian dan saling tolong menolong mengikat tali persaudaraan untuk menjadi satu kesatuan yang utuh.kali ini perjalanan kita ke BADUY.
dan inilah sekilas tentang BADUY,
Mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.
Pendapat lainnya yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa , berdasarkan bukti-bukti prasejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam.
Sedangkan Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah selatan Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. bagian selatan dan dipublikasikan pertamakali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987). Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan dan berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (purwitasari, 2000)
Asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran
dan inilah sekilas ulasan,...
Banten: Hari baru saja terang tanah. Kabut pagi pun belum menghilang dari pandangan. Tapi, di tengah kabut pagi, sekelompok lelaki terlihat menyusuri jalanan pedesaan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, beberapa pekan silam. Mereka tampak jalan beriringan bak barisan tentara yang tengah menuju medan peperangan. Mereka adalah warga Baduy Dalam dari Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, yang akan menemui Bupati Lebak dan Gubernur Banten--disebut Bapak Gede--di Rangkasbitung dan Serang. Seba, begitulah acara yang akan mereka hadiri.
Seba adalah kegiatan rutin warga Baduy sebagai ungkapan tali silaturahmi masyarakat adat terpencil tersebut dengan pemerintah daerah setempat. Acara yang digelar tiap tahun ini juga bisa diartikan sebagai tanda kesetiaan anggota suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar dalam 67 kampung ini pada pemerintahan Republik Indonesia. Tak jelas betul kapan tepatnya tradisi Seba ini bermula. Tapi, warga Baduy meyakini tradisi Seba sudah dilakukan para leluhur sejak mereka ada dan tinggal di sekitar kaki Pegunungan Kendeng. Tak heran, Seba menjadi bagian dari amanah para leluhur yang harus dijalankan.
Warga Baduy yang juga dikenal sebagai orang Kanekes adalah sekelompok masyarakat Sunda yang hidup mengisolir diri di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, wilayah selatan Banten. Atau sekitar 172 kilometer sebelah barat Jakarta atau kira-kira 65 kilometer sebelah selatan ibu kota Provinsi Banten. Mereka adalah bagian dari sisa kejayaan Dinasti Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (sekitar abad XV sampai XVI Masehi) yang tetap mempertahankan tradisi dan kultur Kerajaan Hindu Padjadjaran. Selama berabad-abad, mereka juga berusaha menolak segala bentuk pengaruh luar, termasuk penggunaan segala bentuk teknologi modern. Sedangkan untuk mempertahankan kemurniannya, mereka membagi diri dalam dua kelompok yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Orang Baduy Dalam dicirikan dengan ikat kepala putih yang tetap memegang teguh tradisi ajaran Sunda Wiwitan sepenuhnya. Sementara Baduy Luar yang dicirikan dengan ikat kepala hitam mempunyai aturan yang lebih longgar. Biasanya, warga Baduy Luar masih bisa menerima produk teknologi modern, meski dalam batas-batas tertentu.
Perbedaan ini bisa dilihat saat mereka akan menuju ke Rangkasbitung untuk mengikuti acara Seba. Warga Baduy Dalam menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Tak heran, waktu yang ditempuh juga cukup lama yakni sembilan jam. Warga Baduy Dalam adalah orang-orang yang dikenal tangguh. Ketentuan adat mengharuskan mereka menolak penggunaan segala bentuk teknologi modern, termasuk kendaraan bermotor. Tidak aneh, mereka setiap berkelana selalu berjalan kaki. Kekuatan mereka berjalan memang mengagumkan. Uniknya, tak ada jamu atau ramuan khusus yang mereka makan untuk mempertahankan stamina. Resepnya, cuma satu yakni beristirahat bila datang saat lelah.
Berbeda dengan orang Baduy Dalam, Baduy Luar sedikit lebih longgar dalam menjalan aturan adat. Mereka boleh naik kendaraan untuk pergi ke suatu tempat. Tak heran, mereka bisa lebih santai mengingat cuma memerlukan waktu dua jam untuk sampai ke Rangkasbitung. Karena itu pula, meski matahari sudah naik sepenggalan rombongan Baduy Luar ini masih berkumpul di rumah Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes yang juga menjabat sebagai jaro atau pemerintahan dalam sistem adat Baduy.
Meski berbeda, baik warga Baduy Dalam maupun Luar yang menempati areal sekitar 5.108 hektare sekaligus desa terluas di Provinsi Banten ini sama-sama masih mempertahankan satu hal yakni kesederhanaan hidup. Tak heran, saat mereka tiba di Rangkasbitung, suasana kontras pun mulai terasa. Mereka seperti masuk ke dalam suatu dunia baru. Kesibukan senja di Rangkasbitung seolah menjadi titik balik dari keheningan dan ketenteraman di lingkungan Baduy. Hiruk pikuk kota, ibarat sihir yang mengusik kemurnian warga Baduy. Keramaian lalu lintas, panggung hiburan, dan hiruk pikuk lainnya kini menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.
Menjelang Seba, biasanya mereka bertebaran di sudut-sudut kota. Dandanan mereka yang khas tampak kontras dengan gaya perkotaan Rangkasbitung. Ayah Samin, kokolot atau sesepuh Baduy Dalam dari Desa Cikeusik, misalnya. Sedikit uang saku dari hasil menjual petai digunakannya untuk menikmati jagung bakar. Lelaki tua itu sendiri tak berani pergi jauh dari pendopo karena khawatir tersesat di kota yang asing baginya ini. Tapi, profilnya yang ramah membuat banyak orang Rangkasbitung mengajaknya bicara dan bertanya tentang kehidupan di Baduy.
Keberadaan mereka di kota juga membuka peluang bagi beberapa orang Baduy Dalam untuk sedikit melanggar pantangan. Juli, warga Baduy Dalam, misalnya. Juli yang sejak berangkat dari Kanekes bercita-cita akan menelepon seseorang kerabat yang dikenalnya di Jakarta. Cita-cita itu tercapai. Juli langsung menelepon kenalannya setibanya di Rangkasbitung. Padahal, telepon adalah salah satu perangkat teknologi yang dilarang digunakan orang Baduy. Tapi, entah karena gagap teknologi atau takut terhadap larangan adat, Juli tampak ragu dan kikuk saat menelepon.
Interaksi dengan kemajuan kota memang sulit dihindari warga Baduy saat melakukan Seba. Meski sebagian besar tampak dingin menyikapi aroma kota, tetap saja mereka terlihat penasaran dan berusaha menikmati hiburan yang disuguhkan. Mereka begitu terpesona menikmati suguhan layar tancap. Entah apa yang terlintas dalam pikiran mereka saat ini. Yang jelas, secara perlahan berbagai pengaruh luar mulai merasuk ke dalam kehidupan mereka.
Menjelang sore, warga Baduy berkumpul di Pendopo Kabupaten sambil menikmati santapan istimewa yang disuguhkan bupati menjelang acara Seba. Sang bupati pun menemui para warganya yang memilih cara hidup berbeda dengan masyarakat lainnya. Biasanya, tiga bulan menjelang acara Seba, warga Baduy melaksanakan Kawalu dan Ngalaksa. Kawalu adalah puasa selama tiga bulan untuk menyucikan diri. Sedangkan Ngalaksa adalah pesta membuat kue sebagai syukuran setelah puasa Kawalu.
Setelah semua itu dilakukan, barulah Seba atau berkunjung ke Bapak Gede bisa dilakukan. Harapannya, agar mereka datang ke Bapak Gede dengan hati suci. Dan kini dengan hati yang bersih inilah mereka datang untuk bersilaturahmi dengan Bapak Gede. Selain ke bupati, Seba juga dilakukan ke Bapak Gede di Serang yaitu Gubernur Banten. Sebagai wujud kesetiaan warga Baduy kepada pemerintah yang sah maka sejumlah hasil bumi diberikan kepada sang gubernur. Sebaliknya sang gubernur juga memberikan sejumlah oleh-oleh seperti garam dan beras.
Tapi, inti Seba kali ini lebih bertumpu pada sebuah misi yang diemban oleh Ayah Mursid. Ayah Mursid adalah anak dari pemimpin spiritual Baduy yang disebut Puun. Ayah Mursid memperoleh tugas dari Puun untuk menanyakan tentang penyerobotan hutan yang kini sering terjadi di wilayah adat Baduy. Ayah Mursid meminta gubernur untuk menghentikan aksi penyerobotan ini dan menghukum para pelakunya.
Terlepas dari itu, kedatangan warga Baduy ini disikapi secara kurang peka oleh Pemerintah Provinsi Banten. Meski maksudnya baik yakni memberi hiburan pada warga Baduy yang datang untuk Seba. Tapi, hiburan yang dipertontonkan justru sangat bertolak belakang dengan moralitas orang Baduy. Misalnya, pertunjukan musik dangdut yang penuh goyangan seronok ini. Tanpa disadari, hal tersebut menggambarkan ketidakpahaman pemerintah daerah terhadap orang Baduy. Inilah cermin dari kesombongan tradisi besar yang tak pernah belajar untuk memahami tradisi-tradisi kecil.
Mengunjungi Budaya Baduy
Kamis 25 februari .
Bojong Gede
Awal perjalanan saya dengan kereta dari bogor saya sampai di rumah Eko di
Bojong Gede jam 14.00 merapat ke kediaman Eko Mantis, yang di rumahnya
terdapat burung beo yang sudah berumur 5 tahun dan pandai menirukan
suara-suara seperti Mas Eko,.. switsuiwwww, termasuk batuknya mas Eko
ditirukan dengan sangat mirip…saya online sambil cekikikan mendengar
celoteh beo,sambil menunggu Iwa dan Bewok bergabung persis pada jam
23.00 kami berangkat menuju IPB dramaga
Kampus IPB Dramaga
Disini
kami berempat menunggu Isna dan Hadi yang akan bergabung, sesuai
perjanjian perjalanan awal untuk mengunjungi Budaya Baduy yang tidak
beberapa lama munculah keduanya terus kami melanjutkan perjalanan
menjemput Toto, untuk menembus kegelapan malam yang hanya di terangi
sinar bulan yang redup, melewati Leuwi Liang,Jasinga, Cipanas yang
harusnya belok kanan menuju arah Ciboleger, berhubung saya sendiri lupa
arah ahirnya saya menjawab sekenanya ya arahnya menuju La-Tanza
La Tanza
Disini
baru kami bertanya mengetuk rumah penduduk yang kebetulan kerabatnya
Isna yang keturunan Baduy. Sambil membuka peta perjalanan mulai
menghitung lokasi dan arah lalu sepakat diteruskan dengan menyusuri arah
dari La-Tanza melewati beberapa desa dan jembatan . Enaknya perjalanan
malam karena sepi dan lancer menyusuri pedesaan yang senyap dibuai mimpi
malam para penghuninya, sedikit di tingkahi suara gerimis malammembuat
jalanan tanah berbatu menjadi licin, kiri kanan
kami adalah hutan belantara yang sudah tidak mirip lagi hutan, tentu
saja indah dan damai terasa di penghujung jalan , sempat ragu memang
setelah sampai di Citorek karena tak satupun orang yang ada untuk
dimintai keterangan.
Saya
lihat di peta jalanan yang kami lalui bias menembus ke Cikotok yang
hanya tinggal beberapa karpak lagi .Perjalanan mengingatkan kami akan
arah yang salah setelah mobil yang di kendarai Hadi tidak bias melalui
tanjakan yang agak curam berbatu licin , slip dengan kondisi mobil
melorot turun yang di kanannya terdapat jurang dalam yang menganga yang
sehari sebelumnya ada truk yang slip dan terjerumus ke jurang tersebut.
Suasanan semakin mengcekam dan tanjakan tidak bias ditaklukan. Ahirnya
Iwa menyarankan untuk istirahat dan balik arah ke perkampungan karena
subuh sudah menjelang kami istirahat di mushola untuk menunaikan shalat
subuh, dan mendapat keterangan dari masyarakat ternyata Cibeo tinggal
satu setengah kilo jalan kami dari tempat kami berpijak saat itu,..namun
karena tujuan kami Ciboleger yang berarti harus melewati beberapa desa
lagi seperti Bojal-Banyar-Cinyiru Muhara-Kosala-Maja dan
Citorek
Selepas
ngopi dan sarapan arem-arem buatan mertuanya Eko tidak lupa foto-foto
dengan gaya petualang Citorek kami tinggalkan padahal sebetulnya lagi
disini perjalanan untuk ke Baduy kasepuhan Cipta Gelar hanya tinggal
beberapa kilo namun tetap itu bukanlah tujuan awal kami, Suasana pagi
yang tenang kabut gunung mulai memudar sinar matahari bersinar
menghangatkan jiwa yang lusuh yang tidak mendapatkan jatah tidur malam,
membuat kami merasa enjoy di perjalanan, terlihat gunung Salote makin
menawan dengan puncak yang lancip mirip lukisan anak – anak , sungai
yang kelok dengan air yang bening menmbah betah mata memandang karunia
dari ciptaan Yang Maha Agung
Cikuning
Entah
karena nama sungainya Cikuning atau karena warna jembatannya yang
kuning , desa ini disebut Cikuning, semua jembatan yang kami lalui
terbuat dari besi yang kokoh namun sebagiannya seperti
pembangunan yang setengah hati jembatan hanya beralaskan papan yang
diletak begitu saja bayangkan kalau ada kendaraan yang lewat papannya
itu loncat-loncat, sehabis jembatan kami mendapati tanjakan yang licin
lagi sehingga mobil kembali mengalami slip ban dan kali ini mesin mati
total, mobil yang satunya ditarik pake tambang dan di diring
beramai-ramai tembus ke atas tanjakan dengan selamat, mobil yang satu
sampai di Cibama yang satunya lagi harus nginap di Cikuning .
Cibama
Maksudnya
adalah pertigaan Cibama yang satu jalannya aspal mulus satunya lagi
batu balai,..batu balai inilah yang harus kami lalui untuk menuju
Ciminyak nah loh,..Ciminyak? ya seperti kehilangan arah memang ya ,...
Tour di lanjutkan hanya dengan satu mobil saja
Ciminyak
Ternyata
pasar dan jalurnya adalah tembusan dari Cipanas ke Rangkas Bitung, ini
adalah akses yang sebetulnya ..yang seharusnya kita lalui pada malam
kemarin sebelum ke La Tanza,inilah cerita saya melalui foto;
Ciboleger
adalah
terminal bis,. Kami memarkirkan kendaraan di sini juga berpungsi
sebagai pasar walaupun tidak seperti pasar pada umumnya,. Disini
relative lebih sepi sesuai dengan peruntukannya pasar terminal adalah
temat mangkalnya para preeman yang mencari makan, kalau boleh saya
sarankan jangan mengambil guide disini, lebih baik kita tahu sendiri
lokasi yang akan kita lalui demi penghematan hal itu sepertinya harus
kita indahkan, karena sekali kita terjerat mereka tidak segan – segan
untuk menguras isi kantong kita dengan segala hal-hal yang diadakan. Ini
kesan buruk dari lokasi yang sebagian orang menganggap sacral .
terlepas dari situ kita sebaiknya membawa orang yang sudah pernah kesana karena kita akan memasuki kawasan hutang yang berbukit bukit,. Dan tentu saja banyak tikungan.
Kadu Ketug
sebelum
melangkah lebih dalam kita bias istirahat atau untuk melepas lelah
dengan menginap disini, disinilah lurah yang di sebut jaro’ Dainah
bersemayam,.mencatat buku tamu yang akan mengunjungi Baduy Dalam.
Sepertinya disinipun kita akan di suguhin sikap yang di buat-buat oleh
jaro’ supaa terkesan seram,..padahal sedikitpun tidak
menyeramkan,..kadang sedikit geli melihat kelakuannya.
Cibeo
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar
kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan
lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di
bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut
diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah
Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS
dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di
kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng
dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut
mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah
rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara),
tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian
selatan). suhu rata-rata 20°C.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda
dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka
lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal
budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Menurut
kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke
bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat
mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli
sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa
bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan
Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim
keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa
ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari
berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi
dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai
perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara
kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja,
2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa
yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang
mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan
musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht,
seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar
(Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan
bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota
Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang
Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci)
secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu
atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda
atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok,
jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah
Rakeyan Darmasiksa.
Ada
versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra
prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina
Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya.
Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu,
mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk
tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah
lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang
prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu
Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di
baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya,
hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang
diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh
dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini
kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar
memenangkan kebenaran.
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan
sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes
mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada
bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun
yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat
terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks
Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.
Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam
keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu
merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun,
dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering
atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen
Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya,
kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka .Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam,
yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam
adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat
kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar,
yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah
Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan
lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian
dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar
tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah
Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka
tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar).
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat.
Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada
di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes
yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes
adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.
Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada
kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara
masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya
dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung .
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan
merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten
yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan
kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten
.Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun
sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan)
kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui
bupati Kabupaten Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan
masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan
yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah
mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil
buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka
juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar
Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada
saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat
sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan
remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya.
Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu
malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang
berlaku di sana.
Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy
Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian,
wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa
wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota
besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada
umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5
orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil
menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut
biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan
hidup.
Warna
pakaian penduduk Baduy Dalam seragam. Penutup kepala berwarna putih
kusam. baju juga demikian, putih kusam. Penutup bawah warna hitam
bermotif garis abu-abu, mirip “penutup” pasukan Romawi, yaitu seperti
rok sebatas lutut.Mereka hanya mengenal dua warna, hitam putih. Mulai
dari anak kecil hingga yang telah uzur.
“Anak
kecil umur 5 tahun sudah diajarkan bekerja oleh orang tuanya bekerja di
ladang. Selama umur 0-10 diajar mengenai mengenal lingkungannya oleh
orang tuanya. Setelah itu barulah Pu’un (ketua adat) membimbing lebih
dalam soal kehidupan social kemasyarakat
Di
kampung Cibeo dan umumnya Baduy dalam, diberlakukan aturan-aturan adat
yang cukup ketat. Larangan bagi orang luar seperti kita ini, akan mudah
mengingat seperti larangan orang Bule masuk perkampungan mereka serta
dilarang membawa alat elektronik seperti radio, tape,telephon genggam
dan kamera. Begitu pula larangan membawa benda-benda seperti pasta gigi,
shampoo, sabun yang dapat mencemarkan lingkungan. Nah tuh, kita?.. wah
jangan tanya, soal pencemaran bagi orang luar kecil, tapi sudah tingkat
pengrusakan yang parah. Parah!!!!
Rumah
penduduk Baduy Dalam terbilang unik, antara satu dengan yang lainnya
berjarak antara 3 sampai 5 meter. Rumah itu dibangun secara bergotong
royong tidak menggunakan paku, semua bahannya terbuat dari bamboo dan
kayu. Lantainya dari bamboo yang dibelah. Mereka membangun rumah
panggung setinggi antara 50 cm hingga 100cm. Bentuknya sama beratap dari
ijuk dan daun siren semua rumah suku Baduy Dalam hanya berpintu
satu. Kalau dalam rumah tangga itu terdapat dua kepala keluarga, maka
tungkunya ada dua. Karena itulah, iri, dengki tidak ada dalam kehidupan
mereka. Gotong royong merupakan budaya yang mereka lakukan sejak turun
temurun. Akur kan?..
“Sistem
pemerintahan” Baduy dalam itu berdasarkan musyawarah mufakat. Tiga
Pu’un yang ada yakni Pu’un, Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana selalu
mengadakan musyawarah. Ketiga Pu’un ini memiliki fungsi masing-masing,
seperti Pu’un Cibeo menangani pertanian, Cikesik Keagamaan, dan Pu’un
Cikertawana menangani kesehatan yaitu obat mengobat orang yang sakit.
Ketiga Pu’un inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan dalam
pemerintahan. Kayak DPR kali ya?..( di Indonesia terkenal sebagai Dewan
Perwakilan Rampok )
Dalam
pertahanan dan keamanan diserahkan kepada Jaro, demikian pula
pemerintahan atas petunjuk dari Pu’un. Pu’un diganti bila telah
meninggal dengan jalan musyawarah. Yang diutamakan adalah meminta
petunjuk dengan mata bathin, untuk memilih beberapa turunan Pu’un yang
layak. Karena mereka berdasarkan agama Sunda Wiwitan percaya pada Gusti
Allah, nabi mereka adalah Nabi Adam dan Hawa.
Kehidupan
aman dan damai begitu terasa di kampung itu. Jadi pertengkaran atau
perselisihan sangat jarang terjadi. Kalau ada yang melanggar akan diberi
hukuman, seperti kerja paksa tanpa upah. Kalau pelanggarannya berat,
maka akan dikeluarkan dari suku Baduy dalam lalu menetap di Baduy luar.
Akibat penerapan hukum itu sangat jarang sekali ada yang melanggar.
Keamanan dijaga 24 jam, kalau siang ditugaskan 10 orang lelaki atau
lebih untuk menjaga kampung dengan berkeliling (ronda)
Acara
pernikahan mirip dalam novel Siti Nurbaya, orang tua akan menikahkan
anak-anak mereka bila pria telah berumur 20 tahun dan perempuan antara
15-17 tahun. Tidak pernah terdengar ada yang menolak untuk dinikahkan,
karena berjalan secara teratur dan tiga tahap, seperti pengenalan,
penentuan dan pernikahan. Mereka tidak mengenal poligami. Kalau
anak-anak akan disunat, dilakukan secara massal, sekali dalam lima
tahun. Bila terjadi sunatan kampung itu akan ramai dengan pesta. Acara
potong ayampun dilaksanakan dan makan ramai-ramai. Mereka diharamkan
memakan daging kambing. Kalau sapi atau kerbau sangat jarang. Mereka
terbilang “vegetarian”
Berbeda
dengan dunia luar, system penanggalan mereka agak lain. Mereka tidak
mengenal bulan Januari, Pebruari dst.. Bulan mereka tergantung panen
padi, bulan pertama pada saat merayakan panen padi di huma (ladang).
Jumlah hari dalam setiap bulan adalah 30 hari juga dana bulan mereka
sebut seperti bulan Kalima, Kaanam,Kawalu, Sapar dst.. repot khan bagi
kita?..
Hebatnya,
perekonomian mereka tidak mengenal krisis. Krisis apapun yang melanda
Indonesia, seperti krisis BBM, Moneter, krisis moral, pejabat korupsi,
pejabat kudeta atau DPR di Senayan bertengkar, kehidupannya mereka
norma-normal saja. Tidak kenal “politik” yang ada adalah saling
pengertian. Tapi mereka mengenal status ekonomi seseorang dengan
kepemilikan padi di leuit (lumbung padi) ayam, kucing dan kain
yang tersimpat di langit-langir rumah. Semakin banyak kempemilikan, itu
maka mereka disebut orang kaya.
Orang Baduy dalam tidak dilarang bepergian, kendatipun sampai ke Jakarta
mereka masih memakai pakaian adat mereka penutup kepala putih, baju
putih dan rok hitam serta membawa golok dan tidak memakai alas kaki.
Bila mereka ke Jakarta, berjalan kaki hingga 2-3 hari. Di perjalanan
mereka menginap pada kenalannya. Pantang naik kendaran, sepeda apalagi
motor atau mobil. Bayangkan.
“Saya
sudah naik di gedung tinggi” kata Juli (22thn) sambil menunjukkan
gambar gedung BNI. Yang diambilnya dari sobekan salah satu majalah yang
disimpan rapi di antara lipatan bajunya. “Saya naik di lantai 24 naik
tangga, karena saya tidak boleh naik itu pake mesin (maksudnya
Lift-Pen)” kenang Juli dengan bangga. Tidak hanya Juli, telah banyak
penduduk Baduy Dalam berjalan kaki menuju Jakarta hanya untuk jalan-jalan. Ah.. sampai kapan Baduy itu bisa bertahan dengan adat-istiadatnya, kalau mereka rajin ke Jakarta
yang penuh dengan kepalsuan?..Lambat laun budaya mereka yang asri,
damai akan terkikis oleh erosi zaman, juga akan tergoda dengan
gadis-gadis kelihatan pusar yang mereka tidak pernah lihat di Baduy.
Dunia KFC. McDonal’s dan Coca-cola telah masuk dalam darah mereka.
Gazebo
Ah
begitu seabrek yang bisa diceritakan dari komunitas Baduy. Sayang
perjalanan begitu singkat. Malampun larut, rombongan ekspedisi to Baduy
terlelap, bagi yang terbiasa dengan dinginnya udara malam cukup
nyaman.Tapi, yang tak terbiasa akan membuat tubuh mengigil. Malam
bertaburan bintang, suara jangkrit, rombongan mimpi berselimut halimun.
Kendatipun tawa canda dan saling lempar kata, manis, asem, pahit namun suasana kekeluargaan begitu menyentuh.
Keresahan Masyarakat Adat Baduy dan Pemerintahan yang tak Responsif-Analisa pada Kerusakan Hutan Adat Baduy-PendahuluanSatjipto Rahardjo dalam bukunya Biarkan Hukum Mengalir menuliskan bahwa jauh sebelum datangnya era hukum nasional telah ada orde atau tatanan lokal yang selama ratusan tahun telah menunjukan jasa dan kemanfaatannya untuk menciptakan hidup yang teratur. Orde lokal tersebut tidak lain adalah hukum adat yang hingga saat ini masih ada dan ditaati sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).Hukum adat tersebut dijalani dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya hukum kolonial tiba di Indonesia. Pada awalnya Persoalan utama mengenai hukum di Indonesia adalah terjadinya pencangkokan hukum dari negara asal (Belanda) yang mempunyai nilai yang berbeda dengan negara kita Indonesia. Maka wajar jika ada nilai-nilai yang dirumuskan dalam bentuk norma hukum tertulis yang tidak sesuai dengan nilai yang ada di Indonesia.Perbenturan nilai tersebut sebenarnya bukan hanya dialami di Indonesia, beberapa negara lain juga mengalami hal yang sama, Jepang misalnya. Perbedaan Indonesia dengan Jepang dalam beradaptasi dengan hukum modern adalah kemampuannya dalam menangkap hukum secara luwes, flexible, mengalir bagaikan air. Jepang memberi arah, cara dan jalan yang berbeda dari konsep Barat yang menekankan pada kepastian dan predictableness.Sejalan dengan pemikiran tersebut, Robert Seidman yang menciptakan istilah 'Hukum dari Hukum yang tidak dapat dipindahkan' (The Law of Non-Transferability of Law) menjelaskan bahwa pemindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak akan dapat membuat hukum tersebut bekerja, karena hukum tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu digunakan di tempat asal.Kritik terhadap 'pencangkokan'/transplantasi hukum sebenarnya juga pernah dilontarkan J. van der Vinne, yang mengemukakan keberatan-keberatan, yang terutama bersandar pada anggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal (niet geëigend) jika diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia):"Buat suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama nasrani dan penyembah berhala yang mempunyai pelbagai agama serta adat istiadat, sedangkan penduduknya yang beragama Islam amat besar kesetiaannya pada sendi-sendi agamanya serta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diperlakukannya hukum Belanda akan berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat daripada golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain berhubung dengan tempat atau daerah ataupun golongan manusia (orang-orang) di Hindia." Pencangkokan (concordantie) hukum Belanda ke Indonesia mengakibatkan termarjinalkannya bentuk-bentuk hukum adat. Pencangkokan hukum tersebut mengesankan bahwa sebelum adanya hukum Belanda, tidak ada hukum di Indonesia (Nederlands-Indie).Van Vollenhoven di masa kolonial menolak pendapat rekan-rekannya sesama ahli hukum yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum. Menurutnya mereka yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum dikarenakan sudah menggunakan standard atau kacamata yang salah, yaitu kacamata hukum Belanda. Kacamata itu harus diganti dengan kacamata hukum Indonesia dan barulah kehadiran hukum di negeri ini bisa terlihat.Bangsa Indonesia telah berhukum berpuluh-puluh tahun dengan menggunakan hukum yang dilihat van Vollenhoven tersebut. Hukum tersebut adalah tatanan-tatanan lokal beragam yang tersebar di kepulauan Indonesia. Masing-masing berhukum dengan tatanan lokalnya masing-masing yang hingga kini terus bergulir.Meskipun tak sepesat Jepang dalam menyejajarkan hukum, tatanan-tatanan lokal di Indonesia tetap hidup dan semakin bergeliat memberikan solusi disaat hukum warisan kolonial yang mengagungkan kepastian hukum menemui kebuntuan dalam menyelesaikan konflik.Salah satu tatanan lokal yang masih hidup dan terjaga keberlangsungannya terdapat pada masyarakat adat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten. Keberadaan masyarakat adat Baduy telah diakui dengan diterbitkannya Perda Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan hak ulayat masyarakat Baduy di wilayah Banten.Baduy memiliki kearifan lokal tersendiri dalam mengelola lingkungan. Sekalipun masyarakat adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan padahal mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal tersebut telah berlangsung lama meskipun masyarakat adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan. Pada konteks ini, kita harus belajar dari masyarakat adat Baduy dalam berinteraksi dengan alam sehingga kelestarian tetap terjaga. Nilai-nilai yang berkaitan dengan alam dan pengelolaan hutan tersebut merupakan pelajaran berharga bagi pengelolaan lingkungan hidup secara nasional.PermasalahanMakalah ini berusaha menjawab rahasia masyarakat hukum adat Baduy dalam mengelola hutan dan cara menyelesaikan konflik yang berakibat pada kerusakan hutan adat Baduy.Pembahasan Deskripsi Masyarakat BaduyMasyarakat Baduy tinggal di Desa Kanekes. Desa kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dari Jakarta, jaraknya sekitar 120 kilometer. Dengan kondisi alam yang berbukit-bukit di kawasan Pegunungan Kendeng, desa tersebut berada di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut seluas 5.101,85 hektar, sebagai dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan. Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun berikutnya meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1928 berjumlah 1.521 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Awal tahun 1980 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.057 orang, sepuluh tahun kemudian berjumlah 5.600 orang dan tahun 1999 menjadi 7.000-an orang (Kartawinata, 2000). Tentunya, dari keadaan itu menuntut penyediaan lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan jumlah kampung, seperti pada Tabel Perkembangan Kampung Baduy Tahun 1891 – 2000.Baduy dan Pengelolaan LingkunganMasyarakat hukum adat Baduy dikenal sangat patuh dan taat pada hukum adat Baduy. Ada banyak larangan dalam hukum adat Baduy misalnya tidak boleh difoto, naik kendaraan, memakai alas kaki. Orang Baduy Dalam jika pergi ke Jakarta, Bogor atau Bandung dengan maksud mengunjungi tamu yang pernah datang ke Baduy selalu berjalan tanpa alas kaki. Jika diketahui menggunakan kendaraan, maka ia akan dikenai sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam menjadi Baduy Luar—Baduy Luar memiliki aturan yang lebih longgar dan berinteraksi lebih dengan modernisasi. Jika ditanyakan alasan kenapa tidak boleh difoto maka mereka akan menjawab dengan singkat "teu meunang ku adat" (Tidak boleh oleh adat).Masyarakat adat Baduy biasa menggantungkan hidupnya pada alam. Mereka menanam padi huma—padi yang ditanam di tanah kebun, bukan sawah—sebagai makanan pokok mereka. Hasil panenan dikumpulkan di sebuah lumbung padi yang dimiliki tiap kepala keluarga. Masyarakat adat Baduy memanfaatkan alam secukupnya sekadar kebutuhan mereka. Prinsip hidup masyarakat adat Baduy tercermin dari pepatah-petitih adat Baduy :Gunung tak diperkenankan dileburLembah tak diperkenankan dirusakLarangan tak boleh di rubahPanjang tak boleh dipotong Pendek tak boleh disambung (Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung)yang bukan harus ditolak yang jangan harus dilarang yang benar haruslah dibenarkanIsi terpenting dari aturan adat tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Di bidang pertanian, bentuk kepatuhan tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Baduy seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Hal tersebutlah yang membuat mereka dapat hidup harmonis dengan alam. Orang Baduy mengambil manfaat alam secukupnya tanpa ada keserakahan di dalamnya. Pengakuan atas Masyarakat AdatMasyarakat adat di Indonesia diakui keberadaannya. Berbagai peraturan dari telah mempertegas eksistensi masyarakat adat. Dalam Undang-undang Dasar 1945, pengakuan tersebut dicantumkan dalam pasal 18B ayat 2 dan 18I ayat 3 sebagai berikut:Pasal 18B ayat (2)Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adapt beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.Pasal 28I ayat (3)Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.UU No 41 tahun 1999 Kehutanan (yang mengalami perubahan dengan adanya Perppu Nomor 1 tahun 2004) juga mengakui hak dari masyarakat hukum adat dalam pasal 67 sebagai berikut :Pasal 67(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakuikeberadaannya berhak :a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehariharimasyarakat adat yang bersangkutan;b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlakudan tidak bertentangan dengan undang-undang; danc. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimanadimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.Selain itu keberadaan hutan adat juga telah diakui oleh undang-undang ini sebagai berikut :Pasal 16. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.Pasal 4(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidakbertentangan dengan kepentingan dengan kepentingan nasionalPasal 37(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan,sesuai dengan fungsinya.(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukansepanjang tidak mengganggu fungsinya.Masyarakat Baduy dan Hutan adat yang wilayahnya telah ditetapkan pemerintah daerah setempat hidup secara harmonis. Tidak ada penebangan kayu secara masif, tidak ada pencemaran air, tidak terjadi 'gundulnya' hutan. Hal tersebut karena kultur masyarakat Baduy yang menyatu dengan alam. Orang Baduy tak pernah mandi dengan menggunakan sabun di sungai-sungai di hutan adat Baduy. Sabun adalah salah satu benda yang masuk dalam aturan "teu meunang ku adat"/tidak boleh oleh adat.Kerusakan Hutan di BaduyKeharmonisan itu kini mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy, menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat. Warga Baduy telah sering melaporkan persoalan ini ke Pemerintah Provinsi Banten, melakukan sosialisasi pada warga luar Baduy agar tidak menebang pohon di hutan adat bahkan melaporkan persoalan ini ke kepolisian. Jaro Dainah mengaku meski tanah ulayat Baduy itu sudah dilindungi peraturan daerah, pada praktiknya aturan tersebut tidak berjalan akibat lemahnya penegakan hukum oleh aparat.Aparat seharusnya tidak hanya membiarkan persoalan ini berlarut-larut dengan menyerahkannya begitu saja pada pihak yang berkonflik. Aparat penegak hukum juga sedapat mungkin menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dan terus melakukan monitoring atas progresifitas perkembangan konflik yang ada. Upaya ini dilakukan untuk menuju sebuah peradilan yang berorientasi pada restorative justice. Masyarakat Baduy telah kelelahan dengan konflik yang tak kunjung usai ini. Jaro Dainah bahkan mulai pesimis apakah keluhannya didengarkan.Pada akhirnya faktor ekonomi menjadi faktor yang paling utama dalam menyumbang kerusakan hutan di Baduy. Kerusakan hutan adat di Baduy tak lepas dari persoalan ekonomi. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dalam melestarikan lingkungan tidak hanya dalam tataran kebijakan legislatif, tapi juga upaya kuat mendorong penegakan hukumnya dengan tak berpihak pada kekuatan ekonomi. Pihak perusahaan maupun perseorangan juga harus memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran tersebut dapat dilakukan dengan banyak cara dari penyuluhan hingga penegakan hukum sebagai upaya untuk menghasilkan deterence effect (efek pencegahan).KesimpulanKeharmonisan yang telah berlangsung lama antara masyarakat adat Baduy dan alam akhirnya harus terusik justru karena faktor di luar mereka. Modernisasi mulai menjamah keharmonisan hubungan alam dan manusia. Peraturan seperti Perda yang mengatur masyarakat adat Baduy dengan berbagai ancaman hukuman bagi perusak hutan adat Baduy hanya akan menjadi peraturan yang tidak pernah 'turun ke bumi' menyelesaikan masalah. Peraturan pada akhirnya tinggal peraturan, sebercak tinta yang tersusun dalam kertas putih. Masyarakat Baduy, hingga saat ini masih bertahan dan bersabar dalam menyikapi persoalan perambahan hutan mereka. Kondisi ini sebenarnya menjadi 'bom waktu' jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas. Konflik horizontal pada akhirnya berpotensi terjadi antara masyarakat adat Baduy dengan masyakarat luar Baduy. Duduk bersama antara masyarakat luar Baduy, masyarakat adat Baduy dan pemerintah pada akhirnya mutlak diperlukan untuk menyelesaikan permasalan. Dan makalah ini hanya dapat sekadar membuka kesadaran bahwa mereka memang seharusnya duduk bersama.
0 comments:
Post a Comment