ABSTRACT
Based on soil health indicators (lack of nutrient, low pH low soil
organic matter, severe erosion, high Al toxicity, low bio diversity, increasing
ex-mining and critical land area), soil ecosystem in Indonesia is in a very
sick condition. Agricultural intensification & extensification which are
based on usage of anorganic fertilizers and various chemicals is increasing, so
the ecosystem health is in more critical condition. Ecosystem revitalization
and remediacy can be done by implementing ecological based agriculture
(sustainable agriculture), such as LISA, LAEISA, Integrated Ecological Farming,
and Organic Farming.
The development in soil biotechnology, especially on biofertilizers,
is a environmental friendly solution in acclelerating the development ecosystem
quality. Usage of mycorhyzae biofertilizer has been proven in increasing soil
quality and health (improving soil structure, increasing nutrient availability,
acting as a biological agent or bioprotector increasing soil biodivisity) and
in increasing the growth and yield of various plants (staple crops, vegetable
crops & perennial crops). Plants with mycorhyzae grows well in extreme
condition (low pH, dry, soline, heavy metal contaminated soils). Yield of same
staple & vegetable crops increase as muchs as 10 – 100% and growth and
quality of forest plants increase significantly. Even in soil contimated with
heavy metals, mycorhyzae gives biological protection to plants and decrease the
absorption of heavy metals by the mechanisms of filtration, complexion and
accumulation of those heavy metals on mycorhyzae hyphae.
The performance of mycorhyzae in the revitalization process of soil
ecosystem depens mainly on kinds of fungi, kinds of infected plants application
techniques, and engineering growth area.
Main strategy on increasing the performance of mycorhyzae biofertilizer is by
using effective inoculants and by providing condition for the mycorhyzae so it
grows earlier in the rhizosphere so it can dominate the rhizosphere.
_________
Key words : revitalization, oil health, soil quality, mycorhyzae, biofertilizer,
yield.
1. PENDAHULUAN
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia akan terus meningkat
sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk. Jumlah penduduk di Indonesia
diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 262 juta jiwa, sehingga sektor
pertanian dipacu meningkatkan produksi dan produktivitas berbagai komoditi
pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, dan lain-lainnya) baik melalui
program intensifikasi maupun ekstensifikasi. Keharusan memacu peningkatan
produktivitas semakin penting karena peningkatan jumlah penduduk selalu
disertai dengan berkurangnya areal pertanian. Di sisi lain, kegiatan penebangan
hutan dan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan aktivitas
pertambangan (batu bara, emas, timah dan lain-lainnya) yang terus berkembang
menyebabkan terjadinya degradasi kualitas tanah (soil quality and soil health) sehingga luas lahan kritis terus
bertambah. Data Direktorat Bina Rehabilitasi
dan Pengembangan Lahan (1993 dalam Zaini et al., 1996) menunjukkan bahwa luas lahan bermasalah sudah mencapai sekitar 18,4
juta ha (7,5 juta ha potensial kritis, 6,0 juta ha semi kritis dan 4,9 juta ha
kritis). Bila diasumsikan laju penggundulan hutan sekitar 2 – 3 juta/ha/tahun
dan ditambah dengan lahan bekas tambang (pasca tambang) maka luas lahan kritis
di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 30 – 40 juta hektar. Keadaan ini
akan semakin parah karena konversi lahan ke non pertanian, perusakan hutan (25
ha/menit atau 2 juta/ha/tahun sedangkan reboisasi hanya 300.000 – 500.000
ha/tahun) terus berlanjut. Pemakaian berbagai senyawa xenobiotika
(pestisida, fungisida, dan lain-lainnya) untuk mengendalikan berbagai penyakit
dan hama tanaman berlangsung intenstif.
Kerusakan yang lebih parah terdapat
pada lahan bekas tambang: tanah lapisan atas (top soil) hilang, kemampuan menahan air rendah, dan sangat miskin
hara dan kandungan logam berat relatif tinggi. Akibatnya, pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sangat terhambat sehingga produktivitasnya sangat rendah.
Demikian pula revegetasi pada lahan bekas tambang sering tidak berhasil karena
tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik (akar keracunan, hara tidak tersedia,
cekaman air, dan lain-lainnya).
Konsekuensinya, diperlukan input yang relatif besar (pupuk buatan dan
organik, berbagai senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana
dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki
kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.
Hal ini juga diperburuk oleh
pemupukan yang masih berorientasi pada eksploitasi sumber daya hara dalam tanah
(input<<output) sehingga terjadi proses pemiskinan. Kondisi saat
ini memperlihatkan bahwa proses pemiskinan tanah (over eksploitasi)
berjalan relatif cepat (pasokan hara masih terfokus pada hara N, P dan K saja).
Selain itu, kehilangan lapisan olah melalui erosi diperkirakan setidak-tidaknya
sekitar 8 – 12 t/ha/tahun (di Amerika hanya sekitar 0,7 t/ha/tahun). Kerugian
akibat terjadinya penurunan produktivitas lahan di Pulau Jawa diperkirakan
sekitar US$ 139,8 juta (Strutt, 1998). Tingginya tingkat erosi tersebut selain
mengakibatkan kehilangan nutrisi dalam jumlah yang besar juga mengakibatkan
terjadinya pendangkalan pada ekosistem perairan (sungai, waduk, danau, dan
lain-lain) serta mengganggu jaringan irigasi dan menimbulkan bahaya banjir
secara signifikan.
Hasil evaluasi pada kesehatan
tanah dengan menggunakan indikator (kandungan bahan organik < 2%, pH masam,
erosi tinggi, keanekaragaman hayati terganggu, dan lain-lainnya)
mengindikasikan bahwa ekosistem tanah di Indonesia termasuk sakit berat.
Pertanian dan kegiatan lainnya yang tidak ramah lingkungan akan mengganggu
ekosistem alami (pemutusan rantai makanan), mencemari ekosistem tanah dan air
serta meningkatkan bahaya adanya efek residu dalam produk pertanian. Selain itu,
ditengarai berbagai limbah industri tanpa pengolahan dibuang ke
perairan/sungai, sehingga perairan tersebut mengalami pencemaran yang cukup
berat. Demikian pula halnya, berbagai
limbah padat dari instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di perkotaan atau
industri lainnya yang mengandung logam berat dalam jumlah yang relatif besar
sering digunakan pada areal pertanian sebagai amelioran (Simarmata, 2004;
Simarmata et al., 2004). Akibatnya, dapat menimbulkan bahaya akumulasi
logam berat pada rantai makanan/konsumen (Alloway, 1995; Pankhurst et al.,
1997).
Upaya untuk mengembalikan
(revitalisasi) dan mempertahankan keberlanjutan ekosistem pertanian dapat
dilakukan dengan sistem pertanian ramah lingkungan (pertanian ekologis).
Prinsip dasar dalam pertanian ekologis adalah menjaga keselarasan/keharmonisan
atau interrelasi diantara komponen ekosistem (manusia, hewan, tanaman dan
sumber daya alam) secara berkesinambungan dan lestari. Konsep pertanian berbasis ekologi telah
berkembang pesat sejalan meningkatnya taraf hidup dan kesadaran lingkungan.
Sistem pertanian ekologis (sustainable
agriculture) yang dikembangkan
antara lain adalah LISA (low input
sustainable agriculture), LEISA (low
external input sustainable agriculture), pertanian ekologis terpadu (integrated ecological farming system)
dan pertanian organik (organic farming
system) (Simarmata, et al., 2002;
2004).
Pengembangan pertanian ekologis
tersebut ditunjang oleh kemajuan dalam bidang bioteknologi tanah yang ramah
lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati (biofertilizers)
dan teknologi pupuk organik. Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat
untuk memperbaiki, dan mempertahankan kualitas tanah sehingga mampu meningkatkan
pertumbuhan dan menaikkan hasil maupun kualitas berbagai tanaman (tanaman
pangan, sayuran, perkebunan dan kehutanan) secara signifikan. Pemanfaatan pupuk
hayati (biofertilzers), yaitu bakteri
penambat N, mikroba pelarut fosfat, mikoriza dan rhizobakteria lainnya seperti plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)
memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Selain dapat meningkatkan pertumbuhan,
hasil dan kualitas tanaman (10 – 100 % atau lebih) PGPR juga mengandung mikroba
yang dapat menekan pertumbuhan patogen akar dan meningkatkan toleransi akar
tanaman terhadap bahaya keracunan dari berbagai logam berat (Hildebrant dan
Bothe, 2002; Simarmata dan Danapriatna, 1996; Simarmata dan Herdiani, 2004;
Simarmata, 2004; Al-Karaki dan McMichael, 2004; Rohyadi et al., 2004). Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu
meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman kehutanan (revegetasi) pada lahan
bekas tambang maupun lahan kritis dengan signifikan (Setiadi, 2004). Selain itu,
ektomikoriza yang dapat dikonsumsi potensial untuk digunakan pada tanaman
kehutanan. Oleh karena itu, pemanfaatan mikoriza dalam revitaliasi kesehatan
ekosistem tanah merupakan solusi yang tepat untuk mempercepat pengembangan
pertanian ekologis (ramah lingkungan) di Indonesia.
2. KESEHATAN TANAH DAN Pupuk
Hayati
2.1.
Kesehatan Ekosistem Tanah
Istilah kualitas tanah (soil
quality) dan kesehatan tanah (soil health) seringkali digunakan
secara bersamaan atau bergantian. Para pakar menggunakan istilah kualitas
tanah, sedangkan para pengguna lebih sering menggunakan istilah kesehatan
tanah. Kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk melakukan dan mempertahankan
berbagai fungsi tanah (Soil quality is the ability of soils to perform
various intrinsic and extrinsic function). Oleh karena itu kualitas tanah
merupakan integrasi sifat fisik, kimia dan biologi untuk menyediakan media
tumbuh bagi tanaman dan aktivitas biologis, mengendalikan partisi aliran air
dan retensi air, serta berperan sebagai penyangga dan filter terhadap degradasi
senyawa xenobiotika atau kontaminan yang membahayakan lingkungan. Adapun kesehatan tanah diartikan sebagai
kemampuan tanah dalam mempertahankan fungsi tanah sebagai sistem hidup yang
vital dan dinamis dalam ekosistem untuk mempertahankan produktivitas
biologis dan kualitas air serta kesehatan tanaman, hewan maupun manusia secara
berkelanjutan (soil health is the continued capacity of soil to function as
vital living system, within ecosystem and land use boundaries, to sustain
biological productivity and maintain their water quality and as well as plant,
animal and human health). Oleh karena itu, kesehatan tanah merupakan
cerminan bahwa tanah adalah sistem hidup yang dinamis.
Karakteristik tanah yang sehat (healthy soils)
antara lain adalah:
§ Mampu mempertahankan keanekaragaman hayati
dan rantai makanan (biodiversity and food web) dan produktivitas tanah
§ Mampu mempertahankan fungsi tanah sebagai
media tumbuh tanaman maupun organisme tanah
§ Mampu meregulasi partisi
aliran air dan zat terlarut
§ Berperan sebagai filter
dan penyangga polutan
§ Berperan dalam menyimpan
dan mendaurulang hara
Ekosistem tanah yang sehat dan
subur (healthy soils) mencerminkan
adanya interaksi harmonis, baik antara komponen abiotik dengan biotik, maupun
sesama komponen biotik membentuk suatu rangkaian aliran energi atau rantai
makanan. Komponen biotik dari suatu
ekosistem dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) produsen:
organisme (tumbuhan dan mikroba) yang mampu memanfaatkan sinar matahari sebagai
sumber energi dan CO2 sebagai sumber karbon melalui proses
fotosintesis untuk menghasilkan biomassa organik (perubahan energi magnetik
menjadi energi kimia yang disimpan dalam ikatan senyawa hidro karbon atau
senyawa organik), (2) konsumen: organisme yang mengkonsumsi senyawa
organik untuk memenuhi kebutuhan energinya, dan (3) destruen atau pengurai
(dekomposer): mikroba yang merombak senyawa organik yang sudah mati
(tanaman, hewan, limbah organik dari perkotaan maupun industri) untuk
mendapatkan energi dan nutrisi melalui proses respirasi atau fermentasi.
Melalui proses fermetasi ini dihasilkan energi, berbagai produk antara
(metabolit) dan mineral (hara makro dan hara mikro). Mineral yang dilepaskan
dari proses penguraian (mineralisasi) digunakan oleh tanaman sebagai sumber
hara dalam bentuk ion (kation dan anion).
Dari perspektif tanaman, tanah
merupakan tempat terjadinya proses konversi hara yang terikat dalam senyawa
organik maupun anorganik menjadi hara tersedia atau yang dapat diserap oleh
tanaman. Hal
ini berarti bahwa tanah merupakan bagian pencernaan eksternal dari tanaman.
Konsenkuensinya, kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman sangat
tergantung pada kualitas dan kesehatan tanah, dan keanekaragaman hayati.
Penggunaan berbagai bahan kimia (pestisida) menyebabkan terputusnya aliran
energi dan keseimbangan ekosistem alami yang menguntungkan tanaman. Oleh karena
itu, manajemen input dalam pertanian organik diarahkan untuk mempertahankan dan
meningkatkan biodiversitas yang menguntungkan tanaman sehingga tanah sebagai
pencernaan eksternal tanaman berfungsi dengan baik. Kunci utamanya terletak
pada pasokan bahan organik tanah sebagai entry
point of energy into the soil, dan konservasi tanah dan air.
2.2. Pupuk Hayati dan Mikoriza
Pupuk hayati (biofertilizers) adalah pemanfaatan
inokulan yang mengandung sel hidup atau dorman untuk meningkatkan ketersediaan
hara dan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengertian ini, yang termasuk pupuk
hayati antara lain adalah mikroba penambat N baik simbiotik maupun non
simbiotik, mikroba pelarut fosfat, mikroba panghasil fitohormon dan cendawan mikoriza
(Subra Rao, 1982; Arora, 1988; Sharma
et al., 2004; Simarmata, et al., 2005).
Mikoriza adalah bentuk asosiasi
mutualistik antara perakaran tanaman tingkat tinggi dengan cendawan tanah
(Basidiomycetes, Ascomycetes dan Zygomycetes). Tanaman inang memperoleh
berbagai nutrisi, air, proteksi biologis dan lain-lainnya, sedangkan cendawan
memperoleh fotosintat sebagai sumber karbon. Asosiasi mutualistik ini
merupakan interaksi antara tanaman inang, cendawan dan faktor tanah. Mikoriza berasosiasi dengan sekitar 80 – 90 % jenis tanaman
yang tersebar di daerah artik sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun
pasir sampai ke hutan (Brundrett, 1999; Marx, 2004).
Berdasarkan
struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat
digolongkan menjadi 6 kelompok besar (tipe), yaitu :
· Endomikoriza,
yaitu asosiasi cendawan dari Zygomecetes (Glomales) yang membentuk vesikula dan
arbuskula di dalam sel akar (VAM = vesicular-arbuscular mycorrhiza), atau
cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Jaringan hifa masuk ke dalam sel kortek akar
dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan sistem percabangan hifa yang
disebut arbuscule, sehingga
endomikoriza disebut juga vesicular-arbuscular micorrhizae (VAM) atau (arbuscular mycorrhiza fungi = AMF), dan
spora dibentuk di dalam tanah atau akar.
·
Ektomikoriza (ECM), yaitu asosiasi cendawan
dari Basiodiomycetes dan jamur lainnya yang membentuk jaringan hifa seperti
mantel pada akar lateral (hartig net).
Jaringan hifa tidak sampai masuk ke dalam sel, tetapi berkembang di antara sel
kortek akar. Sangat banyak dijumpai pada tanaman-tanaman kehutanan
(Angiospermae dan Gymonspermae). Tubuh buah (sporocarps)
ECM banyak yang dapat dikomsumsi.
·
Ektendo-, arbutoid-, dan monotropoid mikoriza, yaitu asoasiasi
yang mirip dengan ektomikoriza atau peralihan dari kedua bentuk di atas.
·
Mikroriza Anggrek (Orchid
mycorrhiza), yaitu membentuk gulungan hifa di dalam akar atau batang
tanaman Famili Orchidaceae.
·
MIkoriza Ericoid (Ericoid
mycorrhizas), yaitu mikoriza yang memiliki gulungan hifa pada bagian sel
terluar dari bulu-bulu akar tanaman ordo Ericales.
·
Asosiasi mikoriza pada tanaman Lily (Thysanotus) yang jaringan hifa hanya tumbuh di dalam sel epidermis.
Penyebaran yang luas dari pupuk hayati mikoriza
pada berbagai tanaman menjadikannnya unggulan dalam revitalisasi ekosistem
tanah dan pertanian berbasis lingkungan (pertanian
ekologis).
3. KONTRIBUSI
MIKRORIZA DALAM PENYEHATAN EKOSISTEM DAN PERTANIAN EKOLOGIS
3.1. Mikoriza dan Pertumbuhan
Tanaman
Tanaman
sebagai mahluk memiliki sistem pengolahan makanan (pencernaan) internal dan
eksternal. Pada sistem pencernaan eksternal tanaman memerlukan batuan berbagai organisme
tanah dan enzim tanah untuk mengubah bentuk hara (nutrisi) dalam bentuk senyawa
tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat diserap tanaman. Selain itu tanaman
membentuk berbagai kerjasama (simbiosis) dalam tanah untuk meningkatkan
ketersediaan berbagai macam faktor tumbuh dan perbaikan lingkungan tumbuh.
Interaksi antara cendawan mikoriza dengan tanaman inangnya bersifat
mutualistis, yaitu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Asosiasi ini
memberi manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan
mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, serta meningkatkan kelarutan
hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan
mikoriza dapat meningkatkan serapan air dan hara, serta melindungi tanaman dari
patogen akar dan unsur toksik (Brundett et
al., 1996; Brundrett, 1999; Auge, 2004; Goicoechea, et al., 2005). Kontribusi mikoriza dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tanaman adalah sebagai berikut:
1.
Meningkatkan zona eksploitasi perakaran
hingga 10 - 20 kali sehingga suplai hara bagi tanaman meningkat dengan
signifikan.
2.
Memperluas bidang kontak perakaran dan
meningkatkan kemampuan menyerap hara dan air di dalam tanah dengan signifikan
3.
Meningkatkan kelarutan dan ketersediaan hara,
khususnya hara yang tidak atau sukar larut dalam tanah (P) sehingga tersedia
bagi tanaman. Akar bermikoriza pada lahan masam mampu mensuplai hara tanaman
dengan baik sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik
4.
Kolonisasi mikoriza (CMA atau Ektomikoriza)
pada akar berperan sebagai penghalang biologi (bioprotection) terhadap infeksi patogen akar (jamur dan nematoda).
5.
Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan dan kelembaban yang ekstrim (cekaman air). Hifa mikoriza mampu
menembus pori mikro dan mengambil air walaupun dalam jumlah yang relatif
sedikit
6.
Meningkatkan produksi fitohormon dan zat
pengatur tumbuh lainnya seperti auksin, sitokinin dan giberelin di rizosfir.
7.
Mikoriza dapat mengubah arsitektur perakaran
sehingga lebih efisien dalam memanfaatkan berbagai faktor tumbuh
8.
Jaringan hifa pada perakaran meningkatkan
ketahanan tanaman dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tumbuh sehingga
tanaman tumbuh lebih baik
9.
Meningkatkan toleransi tanaman terhadap
senyawa atau unsur logam berat dalam tanah
10. Berperan
dalam transformasi unsur hara (proses biogeokemia) di dalam tanah, yaitu
melalui proses mineralisasi maupun dekomposisi berbagai senyawa organik.
Hubungan tanaman
dengan mikoriza dapat digambarkan dengan ketergantungan tanaman pada mikoriza (relative field mycorrhizal depedency",RFMD)
(Munyanziza et al., 1997; Brundrett, 1999):
|
||||
|
||||
|
|
Keefektifan
mikoriza tersebut tentu berkaitan erat dengan berbagai faktor lingkungan tanah
abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan
penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikroba, spesies
cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar
cendawan mikoriza). Hasil berbagai kajian menunjukkan banyak tanaman yang tidak
dapat tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran mikoriza. Berdasarkan
ketergantungan terhadap mikoriza, tanaman dikelompokkan menjadi: (1) Tanaman
obligat bermikoriza (obligatorily
micorrhizal plants), (2) Tanaman fakultatif bermikoriza (Facultatively mycorrhizal plants), dan
(3) Tanaman nonmikoriza (Nonmycorrhizal
plants).
3.2. Mikoriza dan Kesehatan Ekosistem Tanah
Kehadiran mikoriza dalam tanah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap perbaikan kualitas, kesehatan tanah dan
aliran energi dalam rantai makanan (food web, antara lain sebagai
berikut;
1)
Perbaikan Struktur Tanah. Jaringan hifa
eksternal dari mikoriza
memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa
polisakarida, asam organik dan lendir yang dihasilkan mampu mengikat
butir-butir primer menjadi agregat mikro ("Organic binding agent") Selanjutnya
agregat mikro tersebut melalui proses "mechanical
binding action" oleh hifa eksternal akan membentuk agregat makro yang
mantap (Brundrett, 1999; Linderman, 1996). Wright dan Uphadhyaya (1998)
mengatakan bahwa cendawan VAM mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang berkorelasi dengan peningkatan kemantapan
agregat. Konsentrasi glomalin umumnya lebih tinggi pada tanah-tanah yang tidak
diolah dibandingkan dengan yang diolah. Perbaikan struktur tanah tersebut akan
meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah sehingga
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
cendawan mikoriza juga simbion bagi tanah.
2)
Jaringan hifa
berperan penting dalam daur hara dalam tanah dan mencegah terjadinya kehilangan
hara dari ekosistem tanah
3)
Hifa mikoriza
berperan penting dalam mentransfer (relokasi) senyawa hidrokarbon (fotosintat)
dari perakaran tanaman kepada organisme tanah (sumber energi dalam rantai
makanan dalam tanah)
4) Sporocarps epigeous dan hypogeous
sporocarps dari ektomikoriza dan CMA merupakan sumber makanan bagi hewan
placental, marsupial dan biota di dalam tanah.
5)
Hifa mikoriza dan tubuh buah (fruits
bodies dari ektomikoriza)
merupakan sumber makanan bagi berbagai macam fauna tanah
6)
Mikoriza memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan
dan pertumbuhan mikroba tanah yang menguntungkan (penambat N dan pelarut
fosfat). Mikoriza juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut
fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan
mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan pada tanaman gandum
(Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara VAM dan bakteri
penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997) bahwa
pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan Glomus
moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila tanaman
kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum
7)
Mikoriza berperan penting dalam meningkatkan jumlah karbon yang
sangat menentukan kualitas dan kesehatan tanah
8)
Jaringan hifa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang
serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hifa yang lebih halus dari bulu-bulu
akar memungkinkan hifa dapat menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil
(mikro) sehingga hifa dapat menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang
sangat rendah.
9)
Keanekaragaman jamur dapat digunakan sebagai indikator kualitas
ekosistem tanah
10)
Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui
perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Brundrett (1999)
menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi
bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai
berikut :
- Selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen.
- Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen.
- Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan patogen.
- Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat atau sulit diinfeksi oleh cendawan patogen karena fungi patogen tersebut harus berkompetisi dengan mikoriza terlebih dahulu.
4. Strategi meningkatkan KEefektipan
Mikoriza
Mikoriza termasuk pupuk hayati yang obligat
simbion, yaitu mutlak memerlukan tanaman inang (makro simbiont) agar dapat
hidup dan berkembang. Oleh karena itu, strategi dalam meningkatkan keefektifan mikoriza
untuk meningkatkan ketersediaan hara, perbaikan lingkungan tumbuh bagi
pertumbuhan tanaman berkaitan erat dengan jenis dan asal inokulan, perakaran
tanaman, teknik aplikasi dan rekayasa lingkungan tumbuh.
4.1.
Inokulan Mikoriza
Berdasarkan eksplorasi dan trapping dari
berbagai ekosistem telah diketahui jumlah species CMA (VAM) sangat banyak dari
ordo Glomales (Morton, 1988), selanjutnya dibagi menjadi subordo berdasarkan
kehadiran vesikel, yaitu Glomineae: mempunyai vesikel dan membentuk
chlamydospores (thick wall, asexual spore)
dan Gigasporineae: tidak memiliki vesikel dalam akar dan membentuk azygospores
(spores resembling a zygospore but
developing asexually from a subtending hypha resulting in a distinct bulbous
attachment). Genus mikoriza yang banyak digunakan sebagai pupuk hayati
antara lain adalah Glomus sp, Acaulaspora
sp, Gigaspora sp dan Scultellospora sp yang diperoleh dari berbagai tanaman
inang pada berbagai ekosistem (tanaman pangan, sayuran, perkebunan dan
kehutanan). Sedangkan ektomikoriza
yang digunakan di Indonesia
adalah Pilolithus arrhizus, dan Scleroderma columnare pada tanaman pinus, kayu putih, dan meranti
(Turjaman, et al., 2002). Pemanfaatan ekto mikoriza yang dapat
dikomsumsi (edible) sepert Cantharellus dan Scleroderma akan memberikan keuntungan ganda
Kendatipun secara
umum mikoriza dapat berasosiasi dengan
perakaran berbagai tanaman, tetapi keefektifannya juga ditentukan oleh jenis
tanaman (kecocokan) dan asal ekosistem inokulan tersebut (tanah masam, salin, lahan
bekas tambang, tanah terkontaminiasi logam berat, tandus dan kering, dan
lain-lainnya). Oleh karena itu, penggunaan inokulan campuran merupakan solusi
yang tepat untuk meningkatkan keberhasilan pupuk hayati. Inokulan mikoriza yang
berasal dari ekositem tersebut, jika digunakan kembali pada ekosismtem yang
bersangkutan akan lebih adaptif.
Langkah selanjutnya adalah menguji
kecocokan species CMA atau ektomikoriza dengan tanaman inangnya. Mikoriza yang
yang berasosiasi dengan baik dengan tanaman inang tersebut selanjutnya
diperbanyak secara massal dan digunakan pada ekosistem tersebut.
4.2.
Tanaman Inang dan Sistem Perakaran
Kecocokan mikoriza dengan tanaman inang
berkaitan erat dengan sistem perakaran tanaman dan kondisi lingkungan yang
merangsang tanaman untuk mengeluarkan eksudat untuk menstimulir pertumbuhan dan
perkembangan CMA atau VAM pada akar tanaman. Secara umum, tanaman dengan sistem
perakaran yang halus (banyak) kurang responsif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan mikoriza. Sebaliknya tanaman dengan jumlah akarnya relatif sedikit
akarnya akan sangat resposif terhadap mikoriza. Tanaman akan berupaya untuk
bekerjasama dengan mikoriza dalam memperluas zona eksploitasi akar untuk mendapatkan
nutrisi, air dan senyawa lainnya (Simarmata et
al., 2004).
Ketergantungan pada mikoriza berkaitan erat
dengan sistem dan karakteristik perakaran. Oleh karena itu, pemanfatan mikoriza pada
tanaman yang mempunyai sistem perakaran yang relatif besar dengan jumlah yang
relatif sedikit akan sangat efektif, terutama pada kondisi lingkungan yang
kurang menguntungkan (kering, pH masam, nutrisi kurang tersedia).
Tabel 1. Hubungan
Sistem dan Karakteristik Perakaran Tanaman dengan Ketergantungan pada Mikoriza
(Brundett & Kendrick, 1988; Brundrett, 2000)
Karakteristik Akar
|
Ketergantungan Pada Mikoriza
Tinggi
Rendah
|
|
A. Luas Permukaan Akar
|
rendah
|
besar
|
1. Luas permukaan sistem perakaran
|
rendah
|
besar
|
2. Sistem percabangan akar lateral
|
sedikit
|
banyak
|
3. Frekuensi percabangan
|
jarang
|
rapat (banyak)
|
4. Jumlah dan panjang bulu-bulu akar
|
Sedikit/pendek
|
Banyak/panjang
|
B. Aktivitas Akar
|
rendah/lambat
|
cepat
|
1. Laju pertumbuhan akar
|
lambat
|
cepat
|
2. Respons terhadap kondisi tanah
|
lambat
|
cepat
|
3. Rentang kehidupan akar
|
lama
|
pendek
|
4. Sifat struktur protektif
|
kuat
|
lemah
|
5. Eksudat akar
|
kurang ???
|
banyak ???
|
C. Pembentukan mikoriza
|
efisien
|
inefisien atau terhambat
|
4.3. Ekosistem
Tanah
Ekosistem tanah yang telah sakit
(lahan kritis) memiliki berbagai kendala seperti tebal solum tipis, struktur
tanah masif, ketersediaan air terbatas, terdapat berbagai senyawa toksis
(kelarutan Al tinggi, asam-asam organik, logam berat), kandungan bahan organik
rendah pH masam, ketersediaan hara rendah dan berbagai permasalahan
lainnya. Revitalisasi kualitas tanah
akan berlangsung lebih cepat dengan memanfaatkan mikroza sebagai bioremediator.
Artinya, keefektifan mikoriza pada ekosistem marginal tersebut sangat baik
sehingga dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan produktivitas tanah dengan
teknologi ramah lingkungan. Hasil kajian membuktikan bahwa tanpa inokulasi
dengan mikroriza, pertumbuhan tanaman revegetasi pada tanah marginal sangat
rendah.
4.4.
Pengujian Biologis (Bioassay)
Untuk mengetahui dosis mikoriza
dan kontribusinya pada tanaman (mycorrhizal
dependency) dalam suatu ekosistem dapat dilakukan dengan pengujian
biologis. Pengujian biologis sangat penting untuk mengetahui apakah dalam tanah
sudah terdapat mikoriza atau belum. Jika dalam tanah sudah tersedia, inokulasi
dapat ditiadakan, sebaliknya bila dalam tidak tersedia, inokulasi harus
dilakukan. Oleh karena itu, pengujian biologis bersifat lokal sehingga perlu
dilakukan pada setiap ekosistem secara terencana (by design) untuk mengetahui jenis mikroiza yang paling efektif.
4.5. Teknik Aplikasi
Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa keberhasilan pupuk hayati berkaitan erat dengan
kemampuannya mengokupasi dan mengkolonisasi akar sedini mungkin. Oleh karena
itu, teknik dan waktu aplikasi inokulan sangat menentukan keefektifan mikoriza
tersebut. Aplikasi pada persemaian selain mudah dan murah, juga efektif untuk
mempercepat dominasi CMA atau EM (ektomikoriza) pada perakaran tanaman. Dalam
hal ini perlu diperhatikan kehadiran akar pada saat spora mikoriza bercambah
sangat menentukan. Jika spora sudah berkecambah, tetapi akar tanaman belum
tumbuh maka dapat menimbulkan kegagalan. Secara umum, penggunaan CMA pada
tanaman yang disemaikan lebih dahulu (tanaman kehutanan, perkebunan,
buah-buahan dan beberapa tanaman sayuran) relatif murah dan efektif.
Sebaliknya, tanaman yang ditanam langsung (umumnya tanaman pangan) dengan
jumlah populasi yang relatif besar (> 20.000 tanaman/ha), penggunaan CMA
relatif mahal sehingga menjadi kendala dalam penerapannya secara komersial.
Jika populasi tanaman 40.000 tanaman/ha dengan dosis yang diperlukan sekitar 10
– 20 gram inokulan/tanaman, maka diperlukan paling tidak sekitar 400 – 800 kg
inokulan/ha. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknologi perlakuan benih (seed treatment), yaitu mencampurkan
inokulan dengan benih sebelum ditanam sehingga jumlah inokulan dapat dikurang
secara signifikan atau hingga kebutuhan hanya sekitar 1- 2 kg/ha. Upaya lain
yang dapat dilakukan adalah menyebarkan tanah yang bermikoriza (sebagai
inokulan) pada aeral pertanaman. Untuk itu, perlu disediakan lahan dalam luasan
tertentu untuk memperbanyak mikroriza di lapangan.
4.6.
Rekayasa Lingkungan Tumbuh
Upaya
untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan mikoriza pada perakaran tanaman dapat
dilakukan dengan menciptakan lingkungan tumbuh yang baik bagi perakaran tanaman
dan memperbaiki erasi tanah. Mikoriza memperoleh energi (karbon beruapa fotosintat)
dan nutrisi lainnya (makro maupun mikro) dari dalam tanah. Oleh karena,
pemberian bahan organik dan nutrisi pada awal inokulasi sangat diperlukan untuk
memperbaiki kualitas tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman maupun
mikroriza. Jika kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan bagi
tanaman seperti kekeringan (water stress)
dan tanah berpadas, miskin hara dan lain-lainnya, maka akar tanaman bermikoriza
akan mendorong dan merangsang
perkembangan dan pertumbuhan mikoriza lebih lanjut.
5. PROSPEK
DAN TANTANGAN Pemanfaatan MIKORIZA
DALAM REVITALISASI KESEHATAN EKOSISTEM LAHAN KRITIS
Tekanan pada ekosistem tanah di Indonesia
akan terus meningkat sejalan laju pembangunan dan pertambahan penduduk untuk menghasilkan
berbagai produk pertanian dengan menitikberatkan pada penggunaan pupuk buatan
dan berbagai bahan kimia secara intensif. Akibatnya degradasi kualitas tanah
dan luas lahan kritis akan terus meningkat dan terjadi gangguan pada ekosistem
tanah. Di sisi lain, kesadaran akan produk ramah lingkungan terus berkembang (environmentally friendly products) dalam
pasar global.
Upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan mengembangkan pertanian berbasis ekologi
yang berkelanjutan (sustainable
agriculture). Kunci utama dalam pertanian ramah lingkungan adalah
penggunaaan bahan alami seperti pupuk organik dan pupuk hayati. Pemanfaatan pupuk hayati mikoriza untuk
meningkatkan kualitas dan kesehatan ekosistem tersebut, juga sekaligus
memberikan nilai ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat maupun
sumber devisa.
Hasil berbagai penelitian pada
lahan marjinal di Indonesia menunjukkan bahwa aplikasi pupuk biologis seperti Azotobacter sp., mikroba pelarut fosfat
(Bacillus sp, Pseudomonas sp, dan
lain-lainnya), mikoriza vesikula arbuskula (Glosmus
sp., dan Gigaspora sp.) dapat meningkatkan produksi berbagai tanaman
(jagung, kedelai, kacang tanah, tomat, padi dan tanaman lainnya) dan
ketersediaan hara bagi tanaman antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani,
2004). Aplikasi inokulan campuran (gabungan beberapa mikroba) menguntungkan
ternyata dapat meningkatkan hasil berbagai tanaman dengan signifikan (Simarmata,
2004).
Penelitian Ba et al
(1999) pada tanah kahat hara menunjukkan bahwa inokulasi ektomikoriza pada
bibit tanaman Afzelia africana dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dan
serapan hara oleh tanaman hutan tersebut. Ternyata tanaman yang dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik adalah yang bermikoriza. Hasil berbagai penelitian
juga membuktikan bahwa tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada
kondisi stres air yang hebat. Morte et al
(2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang
diinokulasi dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman
pada kadar air normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis,
serta serapan hara NPK. Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz,
1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang
lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang
ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar,
meningkatnya tekanan osmotik, terhindar dari plasmolisis, meningkatnya
kandungan pati dan kandungan proline (total
dan daun) yang lebih rendah selama stress air.
Hasil berbagai penelitian juga
menunjukkan bahwa tanaman bermikoriza pada tanah salin dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. CMA seperti Glomus
spp mampu hidup dan berkembang di bawah kondisi salinitas yang tinggi dan
mampu meningkatkan hasil (Lozano et al, 2000). Tanaman tomat yang
diinokulasi dengan mikoriza memili pertumbuhan lebih baik dibanding dengan
tanpa mikoriza dan konsentrasi P dan K rata-rata lebih tinggi sedangkan
konsentrasi Na rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa
mikoriza (Al-Kariki, 2000). Hasil penelitian Lozano et al (2000)
menunjukkan bahwa Glomus deserticola
lebih efektif dari Glomus sp.
Hasil berbagai kajian juga
menunjukkan bahwa mikoriza mampu meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam
beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan "extrahyphae slime" sehingga
mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Pemanfaatan cendawan mikoriza
dalam bioremediasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut
dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh
sekresi hifa ekternal (Subiksa, 2002). Oleh karena itu pemanfaatan mikoriza pada
ekosistem yang tercemar logam berat, terutama di areal pertambangan (tailing
dan sekitarnya) sangat potensial. Pengalaman menunjukkan bahwa kontaminasi
tanah dengan logam berat sering menyebabkan kematian bibit dan kegagalan program
revegetasi.
Kajian Aggangan et al. (1997) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih
berbahaya dari pada Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 µmol/L
pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan pada tanah yang
diinokulasi dengan Pisolithus sp.,
gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 µmol/L. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu
pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan
dengan Pisolithus yang diambil dari
tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam berat.
Pemanfaatan
mikoriza dalam bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri
(polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam
pengendapan) tanaman semi akuatik seperti Phragmites
australis juga memberikan hasil yang menggembirakan. Oliveira et al. (2001) menunjukkan bahwa P.
australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan
secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi
pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation)
dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Kajian Joner dan
Leyval (2001), menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar
oleh polysiklik aromatic hydrocarbon
(PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan
hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tanaman yang tumbuh pada limbah
pertambangan batubara yang diteliti Rani et al (1991) menunjukkan bahwa
dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Pada
tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan
adanya "oil droplets" dalam
vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi,
sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa
pemanfaatan mikoriza merupakan alternatif yang ramah lingkungan untuk
memperbaiki kualitas ekosistem tanah yang rusak atau tercemar. Kendala utama yang dihadapi saat ini
berkaitan erat dengan ketersediaan inokulan (kualitas dan kuantitas) dan
terbatasnya sumber daya manusia yang menguasai teknologi mikoriza. Hingga saat
ini waktu yang diperlukan untuk perbanyakan inokulan CMA (obligat simbion) masih
relatif lama dan viabilitas inokulan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Selain itu, standarisasi kulitas
inokulan CMA masih perlu dikembangkan dan dibakukan. Di lain pihak, sosialisasi
(diseminasi) mikoriza hingga ke tingkat petani masih sangat kurang. Oleh karena
itu, perlu dikembangkan teknologi lebih lanjut untuk memperoleh inokulan dengan
mudah dan mempunyai baku
mutu yang baik.
6. KESIMPULAN
1.
Kualitas & kesehatan ekosistem tanah di Indonesia
menurun secara drastis (lahan kritis terus meningkat) sejalan peningkatkan
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, kegiatan industri kehutanan dan
pertambangan
2.
Revitalisasi keberlanjutan ekosistem tanah kritis dan
tercemar dengan pengembangan pertanian berbasis ekologis (LISA, LEISA,
Pertanian Ekologis Terpadu dan Pertanian Organik) merupakan solusi ramah
lingkungan
3.
Pupuk Hayati Mikoriza (endomikoriza dan ekto mikoriza)
merupakan andalan utama dalam revitalisasi kesehatan ekoisistem tanah untuk
meningkatkan pertumbuhan maupun hasil tanaman pada tanah-tanah marjinal di
Indonesia
4.
Penelitian dan pengembangan, khususnya dalam teknologi
inokulan mikoriza perlu diintensifkan untuk menghasilkan inokulan efektif dalam
waktu yang singkat dengan harga yang murah.
0 comments:
Post a Comment