Sunday 21 October 2012

menyelamatkan emas cikotok

Menyelamatkan Emas Cikotok

Pengantar :
           Latar belakang peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan nama tokoh (kecuali K.H. Syam’un) rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Bumi Indonesia, khususnya wilayah Cikotok, Banten, menghadiahi kita kekayaan berupa emas. Di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, emas ini berjasa besar karena ikut membiayai pembelian berbagai kebutuhan bangsa kita di luar negeri. Serangan besar-besaran Belanda pada bulan Desember 1948, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II, antara lain ditujukan untuk menguasai tambang emas Cikotok. Oleh karena itu para pejuang kita berupaya menyelamatkan emas Cikotok sebelum tempat ini diduduki Belanda.
           Dini hari menjelang fajar, tanggal 23 Desember 1948, sebuah truk keluar dari lokasi tambang emas dikawal oleh enam orang pejuang. Peti-peti sebanyak 21 buah ditumpuk di atas bak truk. Seluruh emas ini harus diungsikan menjauhi Leuwidamar, batin Kapten Komar, pemimpin regu pasukan pengawal. “Apapun yang terjadi, kemudikan truk ke arah selatan. Kita akan membawa emas ini ke daerah Bayah !” perintah Kapten Komar kepada supir.
           “Belanda pasti mengejar kita. Juga para perampok Banten,” komentar supir.
           “Itulah tugas kita mengawal emas ini. Sudah lama aku ingin menangkap Bagong”, ujar Kapten Komar. Bagong sangat ditakuti karena merupakan pemimpin perampok yang terkenal kejam. “Sudah banyak kerusakan yang ditimbulkan Bagong.. Ia tidak hanya merampok harta rakyat, tetapi juga membantu Belanda menyerang markas pejuang.”
           “Bagong kebal senjata. Semua jawara Banten takluk padanya. Mungkin hanya Kyai Syam’un yang bisa menundukkannya. Sayang, beliau sedang sibuk memimpin pasukan Banten menghadapi serbuan Belanda”, jelas supir.
           “Aku harap kita tidak perlu merepotkan beliau. Kalau rencana ini berhasil, kita bisa menyelamatkan emas Cikotok sekaligus meringkus Bagong”, ucap Kapten Komar sambil tersenyum. Ia menyimpan rahasia besar yang tidak boleh diketahui siapapun. Ia tahu bahwa ada pengkhianat di tengah-tengah mereka, namun siapa orangnya masih belum jelas.
           Tubuh Kapten Komar terguncang-guncang di atas truk akibat jalan yang bergelombang. Namun truk terus melaju kencang karena mereka tidak ingin dikejar tentara Belanda.
           Setelah menempuh perjalanan jauh truk yang mereka tumpangi terbatuk-batuk dan akhirnya mogok. Pasti businya kotor. Kendaraan ini berbahan bakar bensin yang dibuat orang Banten dari getah karet. Bensin karet sering meninggalkan kerak pada busi sehingga mesinnya mogok. Untuk menghilangkan kerak, busi harus dipanaskan. Namun tindakan ini membutuhkan banyak waktu padahal mereka terburu-buru.
           “Ganti saja businya dengan yang baru,” ujar supir. “Aku membawa beberapa busi cadangan.”
           Supir turun dari truk dan membuka kap mesin. Setelah mesin agak dingin ia meraih busi. Benar dugaannya, banyak kerak pada busi tersebut. Ia menyimpan busi kotor itu. “Nanti kalau sudah ada waktu luang aku akan membersihkan kerak yang menempel pada busi ini. Sekarang kita harus bergerak cepat,” ujarnya sambil memasang busi baru yang masih bersih.
           Sementara supir sibuk mengganti busi, Kapten Komar dan anak buahnya memeriksa keadaan sekeliling. “Aman,” kata Kapten Komar pada dirinya sendiri.
           “Sejauh ini tidak ada tanda-tanda musuh yang mengejar kita,”lapor anak buahnya.
           “Bagus, namun kita tidak boleh lengah. Kita membawa emas yang nilainya jutaan rupiah. Pasti Belanda maupun perampok akan mencoba merampas emas kita.” pesan Kapten Komar.
           Mesin truk meraung-raung. Supir menjulurkan kepalanya keluar dari jendela sambil berseru “Truk sudah siap, Pak !”
           “Ayo bergegas, jangan buang-buang waktu !” teriak Kapten Komar. Ia dan semua anak buahnya berloncatan ke atas truk.
           Belum lama truk berjalan lagi ketika terdengar suara berdengung diikuti munculnya pesawat terbang. Pesawat yang mirip capung itu terbang berputar-putar di angkasa.
           Kapten Komar menyadari adanya bahaya begitu melihat pesawat terbang Belanda. “Celaka !” kata Kapten Komar. “Itu pasti pesawat pengintai milik Belanda. Cepat sembunyikan truk di bawah pohon yang rindang !”
           Upaya Kapten Komar menyembunyikan truk terlambat. Pesawat Belanda sudah melihatnya dan terbang rendah di atas truk emas. Tampaknya Belanda ingin memastikan bahwa truk itu benar-benar yang dicarinya. Secepat datangnya, secepat itu pula pesawat terbang itu pergi. Namun Kapten Komar yakin bahwa pesawat terbang itu terus mengikutinya.
           “Mereka telah mengetahui posisi kita. Sebentar lagi pasukan Belanda akan tiba di sini.” ujar Kapen Komar.
           Truk dipacu kencang. Pejuang-pejuang kita terpaksa mempererat cengkeramannya pada pinggiran bak truk. Rasa mual muncul dari arah perut mereka. Kapten Komar merasa kepalanya agak pening karena bergoyang-goyang kesana-kemari. Ketika membelok di sebuah tikungan, tampak sebatang pohon besar melintangi jalan.
           “Pegangan !” teriak supir sambil menginjak rem sekuatnya. Truk berhenti sebelum rodanya mencapai batang pohon tersebut.
           Teriakan supir tadi kurang cepat ditanggapi penumpang. Beberapa pejuang yang kurang kuat pegangannya hampir jatuh ketika truk direm mendadak. Mereka mengeluh kesakitan sambil memeriksa bagian tubuh yang memar akibat benturan.
           Kapten Komar tidak memperdulikan mereka karena ia tahu ada hal lain yang lebih gawat. Batang pohon yang melintang di tengah jalan pasti ulah manusia. Tepatnya ulah pihak yang ingin menghadang truk pengangkut emas. Kapten Komar menduga pihak itu adalah gerombolan perampok pimpinan Bagong. Jika demikian berarti Bagong tahu jalur yang akan dilewati truk emas. Jadi benar ada pengkhianat yang membocorkan rahasia itu.
           “Cepat belok !” teriak Kapten Komar. “Jangan berhenti, terobos saja semak-semak !”
           Kapten Komar melihat gerakan-gerakan mencurigakan di balik semak belukar. Ia mencium bahaya sehingga spontan berseru, “Kawan-kawan, merunduk segera !”
           Peluru-peluru berdesingan dari segala arah dengan sasaran penumpang truk. “Mereka pasti gerombolan Bagong,” tebak kapten Komar. “Mereka telah mengetahui rute perjalanan kita dan menghadang di sini.”
           Supir truk terus melajukan kendaraannya dengan susah payah karena harus mencari sela-sela pepohonan. Gerombolan perampok mengejar sambil melepaskan tembakan. Truk akhirnya berhenti karena terhalang pepohonan. Jalan satu-satunya adalah mundur namun hal ini tidak mungkin karena di belakang sana para perampok sudah menghadang.
           Di atas truk Kapten Komar dan anak buahnya membalas tembakan. Namun setelah mengamati keadaan sekeliling ia berseru ,”Jumlah mereka banyak, kita akan kalah. Cepat tinggalkan truk !”
           “Bagaimana dengan emasnya ?”
           “Relakan saja ! Nyawa kita lebih berharga daripada emas.”
           Bagong dan kawan-kawannya menyerbu truk yang telah ditinggalkan pejuang.
           “Kita kaya !” seru Bagong. Anak buahnya kegirangan. “Semua ada dua puluh satu peti berarti kita berhasil mendapatkan semua emasnya.”
           Kapten Komar tidak begitu saja melepaskan emas yang dikawalnya dengan susah payah. Ia memerintahkan anak buahnya untuk menyerang perampok. Para perampok tidak mau mati pada saat baru saja memperoleh banyak emas. Mereka segera melarikan truk berisi emas setelah sebelumnya memundurkan kendaraan itu ke tempat yang agak lapang.
           Di atas truk Bagong mencongkel tutup sebuah peti. Tangannya gemetar saat mengetahui bahwa sebentar lagi ia akan kaya raya. Peti terbuka namun Isinya membuat kegembiraan perampok itu lenyap. “Batu. Mana emasnya ?”
           Perampok-perampok membongkar semua peti dan mendapatkan batu di dalamnya. Kekecewaan mereka belum lenyap ketika tentara Belanda tiba di tempat itu dan langsung mengepung truk.
           “Serahkan emasnya !” seru komandan Belanda. Bagong turun dari truk dan menyalami Belanda itu.
           “Halo, Kawan !” sapa Bagong.
           “Kamu bisa mendahului aku merebut emas Cikotok. Itu hebat !”, puji komandan Belanda. “Sekarang, serahkan emasnya !”
           “Kita tertipu. Truk yang kita kejar mengangkut batu”, jawab Bagong.
           Belanda tidak percaya dengan penjelasan Bagong. “Jangan bohong. Kalian pasti sudah merampas emas dan menggantinya dengan batu.”
           “Tuan tidak percaya padaku ?” tanya Bagong. “Ayolah, sudah lama kita bekerja sama. Sudah banyak jasaku pada Belanda.”
           “Siapa yang percaya pada perampok seperti kamu ?” bentak komandan Belanda. “Cepat serahkan emasnya, nanti kuberi kalian hadiah yang banyak”.
           “Sungguh tak ada emas pada kami,” bela Bagong.
           “Kalau bersikeras tidak mau menyerahkan emasnya, kutembak kalian semua’, ancam komandan Belanda.
           Dari tempat tersembunyi Kapten Komar mengamati pertemuan antara gerombolan Bagong dan tentara Belanda. Ia tersenyum, “Sesuai dengan rencana, siasat adu dombaku berhasil. Perampok dan Belanda bertengkar.”
           Adu mulut antara komandan Belanda dan Bagong semakin panas. Tentara Belanda bersiap-siap menangkap semua perampok.
           “Tangkap semua orang ini !” perintah komandan Belanda. Kepada anak buah Bagong ia berseru, “Menyerahlah kalau tidak ingin ditembak !”
           Perampok-perampok anak buah Bagong tidak takut ditembak karena mereka merasa tubuhnya kebal peluru. Akan tetapi mereka tidak mau kebebasannya dirampas. Entah siapa yang memulai, sebuah letusan senjata memicu kedua belah pihak untuk saling mendahului menembak. Keyakinan Bagong dan anak buahnya pada kekebalan tubuh mereka akhirnya mencelakakan diri mereka sendiri. Mereka mendapati tubuhnya penuh dengan lubang peluru.
           “Tamatlah riwayat Bagong dan gerombolannya,” ujar Kapten Komar dari tempat persembunyiannya.
           “Kalau ternyata kita membawa batu, mana emasnya ?” tanya seorang pejuang.
           “Segera setelah keberangkatan kita diketahui Bagong dan Belanda, emas yang sebenarnya diangkut ke Leuwidamar. Itulah sebabnya kita menjauhi Leuwidamar,” jelas Kapten Komar.
           Pada hari yang sama, di tempat yang jauhnya berpuluh-puluh kilometer dari situ, tepatnya di Leuwidamar, Banten, beberapa pejuang tampak sedang beristirahat. Tubuh mereka berkeringat akibat kelelahan dan perasaan tegang. Kini semua kesulitan telah lewat. Senyum puas tersungging di bibir mereka. Ya, mereka baru saja mengungsikan 21 peti emas hasil tambang Cikotok. Emas yang sebenarnya, bukan batu seperti yang dibawa Kapten Komar. Sebagian di antara mereka ada yang tertawa-tawa mengingat betapa perampok dan Belanda mengejar truk pengangkut batu.
           Esoknya, tanggal 24 Desember 1948, Belanda menyerbu tambang emas Cikotok. Dilandasi perasaan marah karena tertipu, Belanda melakukan serangan mendadak dan dari segala penjuru. Pejuang kita tidak sempat mundur, juga tidak sempat melakukan bumi hangus. Banyak pejuang kita yang gugur atau tertangkap. Kedua puluh satu peti emas yang sudah disembunyikan di Leuwidamar itu pun akhirnya jatuh ke tangan Belanda akibat pengkhianatan seorang pegawai tambang. Sungguh sayang !

0 comments:

Post a Comment