SATU-satunya apresiasi terhadap kegetiran para romusha itu hanyalah berupa tonggak monumen yang berlokasi di sebelah SLTPN 1 Bayah, tak jauh dari Kantor Camat Bayah. Itu pun kurang terawat dan terkesan diabaikan.
Pekan ketiga bulan Juli lalu, bangunan bersisi empat dengan tinggi sekitar tiga meter tersebut mulai menghitam. Rumput-rumput liar memenuhi gundukan tanah pinggir jalan raya, tempat Monumen Romusha itu dibangun.
Bendera merah-putih tidak terpasang sempurna karena kaitan bagian merah terlepas. Merah-putih yang tidak bisa berkibar seolah mengabarkan ketidakberdayaan para romusha di bawah kekejaman penjajah Jepang, tahun 1942-1945.
Pareno (87), salah satu mantan romusha itu, tertegun sejenak ketika menunjukkan lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api zaman Jepang, di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar.
Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang.
“Tanah di sini sudah dikapling-kapling dan kebanyakan punya orang Jakarta,” tutur Pareno yang menjadi pemandu dadakan saat menyusuri jejak romusha di tempat itu. Selain Monumen Romusha, perlu kerja keras untuk menemukan jejak-jejak romusha di Bayah.
Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha seperti punah begitu saja. “Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara zaman Jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual,” ujarnya.
Sumur romusha, tempat para romusha mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 Bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusha, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah.
Upacara peringatan romusha oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar. Menurut Pareno, sudah empat tahun terakhir desanya tidak menggelar peringatan itu seiring dengan meninggalnya para bekas romusha. “Anak-anak muda sekarang malu memperingati upacara itu. Mereka malu kalau diketahui keturunan bekas romusha,” ungkapnya.
Andaikata semua itu masih terawat, niscaya akan menjadi obyek wisata sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Keindahan panorama pantai akan diperkaya oleh kedalaman perenungan batin atas perjalanan sejarah negeri ini.
PULAU Manuk adalah salah satu dari beberapa lokasi di Bayah yang menjadi saksi bisu aksi penindasan Jepang terhadap para romusha. Kawasan yang berjarak sekitar lima kilometer dari kota Kecamatan Bayah atau pertigaan Terminal Bayah itu bisa dicapai dari berbagai jurusan. Dari Jakarta, Bayah bisa ditempuh melalui Sukabumi-Pelabuhanratu (Jawa Barat), atau melalui Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak (Banten). Jika melalui Pelabuhanratu, jalur yang dilewati, antara lain Cisolok-Cipicung-Cikotok-Bayah atau Cisolok-Cibareno-Bayah.
Jalur Cisolok-Cibareno-Bayah akan melewati beberapa jalan mendaki dan menurun, tetapi pengunjung akan mendapat suguhan panorama laut selatan, seperti Pantai Cibangban, Cibareno, dan seterusnya. Indahnya pantai selatan di kiri jalan, yang diselingi dengan liukan nyiur dan hamparan sawah di dekat pantai, bisa dinikmati di jalur selatan itu hingga Muarabinuangeun.
Namun, jika menyetir mobil, perlu berhati-hati dan jangan sampai terlena pada keindahan pantai selatan. Di sepanjang jalur selatan itu, masih banyak jalan berlubang kendati masih layak untuk dilalui. Di samping itu, situasi jalan di tempat-tempat tertentu pada jalur itu kadang-kadang sepi.
Jika melalui Rangkasbitung, jalur yang dilewati, antara lain, yaitu Saketi (Pandeglang)-Malingping-Bayah. Sebelum sampai Malingping, pengunjung akan melewati jalan berliku-liku di antara permukiman warga dan area perkebunan dengan kondisi jalan yang sebagian bagus, tetapi sebagian sudah rusak. Setelah melewati Malingping ke arah Bayah, pemandangan pantai selatan terhampar di kanan jalan.
Selain terkenal dengan sejarah romusha, Bayah juga tercatat dalam buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan itu, ia pernah menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog.
Pada zaman penjajahan Jepang, tulis Adhy Asmara dalam Pesona Wisata Zamrud Katulistiwa Banten, kapal-kapal perang Jepang banyak yang melakukan pendaratan di seputar muara Cimadur, Pantai Bayah. Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik.
Penambangan batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93.000 romusha. Pareno mengungkapkan, sebagian besar romusha itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.
SEJARAH Romusha di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana.
Adhy Asmara dalam buku yang sama menyebutkan, kawasan Pulau Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulau Manuk. Akan tetapi, saat menyusuri kawasan itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda tempat itu telah dijadikan desa wisata.
Sejarah romusha di Banten Selatan-seperti sejarah di balik Tembok Berlin (Jerman), kisah di balik Tugu Tiananmen (China), atau cerita kekejaman Nazi di Monumen Kebangkitan 1944 di Warsawa (Polandia)- sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk mengenang luka sejarah….
0 comments:
Post a Comment